Sabtu, 29 Maret 2014

Teman Makan Cinta (end)




08
 





            Hari ini adalah hari senin. Dan pengumuman untuk kalian semua bahwa ternyata hari ini juga adalah hari pertama UAS di Akademi gue. Dengan otak yang cuma punya daya tampung very limited space ini mungkin gue hanya bisa galau, depresi, dan prustrasi dengan datangnya hari yang banyak di takuti anak-anak kuliahanan tersebut.
            Tapi bedanya, kali ini untuk pertama kalinya dalam hidup gue, rasa pasrah dan tawakal yang sangat besar yang gue rasakan malah membuat gue begitu tenang di hari pertama ujian. Gue sangat-sangat santai dan gak gugup mikirin kayak apa soal UAS yang nanti akan gue temui dan metode apa yang nanti akan gue gunakan untuk menyontek dengan efektive dan efisien. Untuk kali ini gue gak terlalu memikirkan semua itu, walaupun gue pake metode nyontek yang paling mutahir abad 22 pun kalau Rama, orang yang biasanya gue jadikan target nyontek udah gak bisa dicontekin lagi. Boro-boro nanyain jawaban, dia nengok pas gue panggil aja, kayaknya udah gak mau lagi.
            Gue bangun pagi dengan wajah yang datar, mandi dengan ekspresi yang biasa, mesen nasi uduk pake nada parau, nyuapin sendok ke dalam mulut dengan tatapan kosong, dan berjalan ke dalam kelas dengan langkah kaku, mata kosong menatap ke depan dan mulut menganga lebar. Kalau ada orang yang ngeliat gue saat itu, gue pasti udah di kira Zombie kesasar yang digigit pas jaman kuliah.
            Saat sampai di kelas, gue menggebrak meja dengan tas dan buku-buku kuliah yang tebel-tebel sehingga anak-anak lain yang ada di deket gue sampai menoleh ke arah gue dengan tatapan aneh. Mungkin dalam pikiran mereka, “Zombie kesasar dari mana yang kuliah di sini?”
            Sambil buka-buka lagi buku yang akan di UAS-kan hari ini, gue bukannya konsentrasi dan memperhatikan kata demi kata yang ada di dalam buku, pikiran gue malah melayang pergi, jalan-jalan. Gue malah teringat dengan sebuah hukum dunia yang tak tertulis: Bahwa sebenarnya manusia itu hanya sendiri dan akan selalu sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial, manusia harus saling berinteraksi dengan manusia lain, kayaknya teori itu udah gak berlaku dalam hidup gue. Kenapa manusia di lahirkan sendiri-sendiri, bahkan yang kembar pun keluarnya gak bareng-bareng, dan manusia matinya juga sendiri. Gue rasa Sang Maha Pencipta ingin mengingatkan gue sebagai manusia bahwa walapun loe saat ini bareng-bareng sama orang yang loe sayang, temen, keluarga, tapi pada akhirnya loe akan sendiri juga. Bedanya orang normal akan sendiri saat ajalnya sudah datang dan dikuburkan. Dalam kasus gue… yah, bisa dibilang gue adalah orang yang mati lebih cepet dari waktu yang seharusnya.
            Sekarang gue cuma bisa berusaha untuk bersikap lebih dewasa dalam menghadapi Ujian Semester maupun ujian hidup gue ini. Toh! Ujian Semester hanya deretan soal-soal yang bisa kita temukan jawabannya pada buku-buku Pemograman, Visual Basic, Basis Data, Algoritma dan buku-buku komputer lainnya yang tersebar luas di toko-toko buku besar atau lapak-lapak Pasar Senen. Itu hanya persoalan mudah yang bisa di selesaikan dengan hanya rajin belajar dan membaca. Coba bandingin sama persoalan hidup gue sekarang yang harus kuliah mengejar impian dan cita-cita, jauh dari orang tua, gak punya satu pun temen yang ada di samping gue. Gak ada lagi tempat gue untuk mengadu, berkeluh-kesah di kala Galau menjelang. Dan yang lebih parahnya gue tau ini akan berlanjut disisa perkuliahan gue nanti. Persoalan gue ini gak bisa di temukan di buku pelajaran mana pun yang penah gue baca –walaupun buku pelajaran yang gue baca jumlahnya minim. Oke! Gue tau di buku itu pasti gak akan ada hubungannya dengan kehidupan gue, tapi gue adalah orang yang sangat suka baca novel, cerpen, komik. Gue juga sering baca sebuah cerita yang hampir sama kayak yang lagi gue alami ini, terutama pada komik-komik Jepang.
Awalnya si tokoh utama tidak punya teman. Dia sendirian, kesepian dan depresi karena tidak ada yang mau berteman dengannya. (Gue banget, kan) sampai suatu hari, dia merasa bahwa dia tidak di anggap lagi di dunia ini dan hampir memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Tapi pada klimaksnya ada seorang tokoh yang ternyata menolongnya, diam-diam selalu memperhatiaknnya, jatuh cinta dan akhirnya si tokoh utama tidak merasakan sendiri lagi. Masalahnya… hidup gue bukannya komik yang ceritanya bisa berubah tiba-tiba saat pembaca membalik ke halaman berikutnya. Kecuali gue egois untuk membalik halaman hidup gue sendiri dan merebut kembali Rama dari Rachel untuk kembali ke kehidupna gue.
Itu gak mungkin terjadi, kan? ya, kan? gak mungki, kan?
Tunggu! Kenapa gak kepikiran. Rama, kan cuma pacar Rachel, kalau mereka putus pasti Rama bakalan balik lagi jadi sahabat gue. Berarti gue cuma perlu nunggu mereka putus doang. Tapi, kalau nunggu mereka putus, apalagi sekarang mereka lagi anget-angetnya, kayaknya mustahil.
Gue diam sebentar… berfikir, menimbang dan memilih, mengoptimalkan kerja otak gue dengan sisa-sisa tenaga kehidupan yang gue punya. Gue punya ide! Rachel hidupmu akan tamat. Hahahaha….
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

Saat mata kuliah pertama untuk hari ini selesai di-UAS-kan dan ada waktu senggang dengan mata kuliah selanjutnya, gue memutuskan memulai rencana untuk  merebut kembali Rama dari Rachel.
Celingak-celinguk di sepanjang jalan-jalan kecil antar gedung sampai ke taman-taman di mana anak-anak biasa nongkrong, akhirnya gue menemukan Rama sedang sibuk sendirian dengan laptopnya di taman belakang gedung Fakultas Komputer. Dia terlihat begitu terpaku dengan layar LED yang ada di depan matanya sambil mengetik-ngetik sesuatu, sampai hampir tak berkedip. Pancaran keseriusan dari wajahnya seakan memberi peringatan kepada siapapun untuk tidak mengganggunya sama sekali. Seolah RAM (otaknya –red) telah terpakai penuh untuk proses yang sedang dilakukannya sehingga jika ada gangguan yang menghampiri, atau ada anggota tubuh lain yang menerima respon baru maka CPU-nya akan mengalami Hang.
Bedanya kalau di PC, Hang yang terjadi adalah antara komputer me-restart sendiri, atau terhentinya semua aplikasi yang sedang dijalankan selama beberapa detik. Kalau Rama, dia akan ngamuk-ngamuk, murka, keluar taring sampai gigit-gigit besi –biar sangar­– selama beberapa detik yang membuat siapapun akan berdiri mematung, antara syok dan nyawa di tubuhnya tinggal setengah.
Keputusan untuk memulai rencana pada kondisi seperti ini adalah keputusan yang tidak tepat. Gue harus bersabar untuk menemukan kembali waktu yang mendukung itu.
Kantin adalah saat yang paling santai untuk mengajak siapapun mengobrol. Dan gue sudah menemukan Rama sedang makan dengan tenang di meja kantin dekat pintu masuk. Meja yang biasa menjadi singgasana kita berdua saat mengisi perut yang kosong… setidaknya dulu. Kondisinya sangat baik untuk memulai rencana gue saat ini. Akhirnya dari balik tembok di mana gue masih dapat melihat Rama dari jarak beberapa meter, gue mulai menyusun taktik untuk mendekatinya. Taktik terbaik yang bisa gue usahakan, efektif dan efisien adalah dengan cuma tinggal jalan ke arah dia, duduk di kursi kosong yang ada di depannya. Saat dia melihat kedatangan gue, gue langsung menyampaikan urusan gue ke dia. Siip! Clean and Clear…
Gue menarik nafas panjang lalu menghembuskannya. Gue mengulang ritual penenangan jiwa itu beberapa kali sampai gue udah cukup yakin dengan misi berat yang gue lakukan ini. Akhirnya gue memutuskan melangkahkan kaki untuk semakin dekat kepada kematian… semakin dekat sampai jantung ini seakan mau meledak… tak ada waktu untuk ragu dan tak ada waktu lagi untuk berbalik ke belakang. Oh tidak! Sekarang dia mulai menyadari kedatangan gue, dia mulai merasakan ada sesuatu yang mendekat ke arahnya, dia akan menegakan kepalanya… dia akan melihat gue… Dia…
“Rama?”
Gue menukik dengan tajam melewati meja makan Rama dan keluar dari kantin. Sial! Padahal nyaris saja gue bisa memulai rencana ini, tapi dengan tak terduga ada pengganggu datang dan mengacaukan semuanya (Rama di samperin sama temennya yang lain –red).
 Perpustakaan. Rama sedang sibuk dengan buku tebal di tangannya. Gue sedang berada di balik rak buku, memandangi gerak-geriknya dari celah-celah buku yang disusun pada rak tersebut. Dari pandangan gue terlihat dengan jelas kalau Rama sedang serius dengan sebuah novel di hadapannya. Bagus! Walaupun dia terlihat serius dalam membaca novel tebal itu, tapi kapasitas RAM-nya tidak digunakan penuh untuk proses membacanya. Gue melihat berkeliling. Di sekitar perpustakaan ini tidak terlihat satu pun orang yang kira-kira akan mengganggu rencana gue dengan tiba-tiba nongol dan manggil Rama. Sempurna. Tapi masalahnya hanya ada satu: Perpustakaan. Di dalam sini, gak mungkin tiba-tiba gue dateng menghampiri Rama dan bilang “Weis… Apa kabar Sob? Udah lama gak ketemu. Oia BTW gue mau ngerebut loe dari cewek loe nih…” gue gak mungkin teriak-teriak nyamperin dia dengan gaya jalan kaki terbuka dan badan di goyangkan ala anak-anak Rapp di tengah Perpustakaan yang menuntut orang untuk diam tak berbicara. Gak bisa saat ini! Gue harus bersabar mencari waktu lain. 
Setelah kegelisahan menjadi teman setia, keterpurukan menjadi sandaran dan kekelaman menjadi tali pengerat leher akhirnya saat di mana gue dapat berbicara dengan Rama, datang juga.
Suatu hari di sore yang dingin dengan hembusan angin pembawa embun, tercampur dengan rintik-rintik hujan yang mulai jatuh dari gumpalan awan kelam yang menggelapkan, tak sengaja gue dengan kaki terseok-seok menabrak seseorang di tengah perjalanan mencari keadilan.
Saat gue menegakan kepala untuk meminta maaf kepadanya, ternyata orang yang gue tabrak itu adalah seseorang yang selama ini ingin gue temui, yang gue cari dalam sisa umur gue ini.
“Rama…” Gue berkata lirih menyebut namanya.
Pria keren berpostur tinggi itu sekarang menatap gue dalam genggamannya yang kuat.
“Tolong aku Rama… tolong aku…” Gue berusaha menyampaikan kalimat terakhir dalam hidup gue ini.
“Ada apa Ocha…” Rama semakin panik melihat gue yang sudah megap-megap antara hidup dan mati, “Ocha, bertahan lah! Katakan apa yang kau inginkan?”
“Tolong aku…” Gue berusaha untuk tidak kehilangan kesadaran, “Tolong ajari aku mata kuliah C++ yang besok di-UAS-kan. Rama… kau adalah kesatria paling kuat dalam dinasti ini, hanya kau yang bisa melakukannya…” Gue terbatuk-batuk seolah dengan batuk ini, tercabutlah semua ruh dalam raga ini.
Tapi Rama tidak bergeming. Dia hanya menatap gue dengan pandangan kosong layaknya seorang yang sedang berfikir keras. Dahinya menampakan kerutan menandakan otaknya sedang bekerja saat itu. Tapi dengan seketika, dengan tidak terduga-duga, gue yang telah lemah tak bertenaga, lunglai di tangannya akhinya di hempaskan terbuang dengan kasar ke tanah. Gue terbaring lemah… sekali lagi, gue terbaring lemah…
“Ocha, Serius! Ngapain loe nyamperin gue?”
Kami kembali ke dunia nyata. Trriiing….
“Abisnya loe ladenin aja sih gue ngomong gitu.” Kata gue. “Gue menyerah. Gak ada loe, bisa-bisa gue jadi mahasiswa abadi. Sisa UAS nanti ajarin gue dong… plis… demi masa depan gue dan kelangsungan hidup gue,” dengan tampang paling memelas yang gue punya, gue langsung memohon ke Rama.
Sekilas gue melihat Rama tersenyum. Sekilas. Hanya sekilas, seolah itu hanya ada dalam imajinasi gue. Rama diam sejenak untuk berfikir. Gue yakin dia sengaja melakukan itu untuk membuat gue lebih memohon lagi untuk merendahkan diri padanya. Sifat Rama yang lain: Suka mempermainkan orang yang sedang membutuhkannya.
“Gimana yah… Rachel, kan bilang, gue gak boleh temenan lagi sama loe,”
“Ini bukan soal temen… loe bilang aja ke dia ini tentang masa depan Bangsa dan Negara di mana pemudi penerus Bangsa sedang terancam masa depannya. Gimana kalau nanti gue gak lulus-lulus dan akhirnya di DO, gak ada perusahaan yang mau nerima gue bekerja, gue jadi pengangguran, hidup di kolong jembatan karena orang tua gue gak mau menganggap anaknya lagi karena malu. Akhirnya gue mati karena kedinginan gak ada tempat tinggal, kelaparan…”
“Iya-iya… gue ngerti.” Rama akhirnya menyerah. “Iya, gue bakal ngajarin loe sampai selesai UAS. Pulang kuliah di rumah gue.”
Rama akhirnya bersedia mengajari ilmunya ke gue. Setelah dia berlalu, gue jingkrak-jingkrak gembira karena rencana pertama gue untuk menarik simpati Rama akhirnya berhasil dengan lancar.
“Tunggu saja Rachel, aku akan merebut Rama darimu. Hahahahaha…” Gue nganguk-ngaguk pake suara batin kayak tokoh-tokoh antagonis di sinetron Indonesia.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

Singkat cerita, Rama dengan datarnya mulai mengajarkan gue satu-persatu yang dia tau tentang pemograman, mata kuliah Algoritma tentang logika dalam membuat alur sebuah Program, Struktur Data dan beberapa mata kuliah lain yang akan di-UAS-kan. Gue memperhatikannya dengan saksama, mendengar dengan cermat, memandang dengan intensitas tinggi. Langkah demi langkah gue catet, kalau ada istilah-istilah yang gak gue ngerti langsung gue tanyakan, lalu saat terjadi error dalam membuat sebuah program, gue akan memintanya untuk menunjukan bagian mana yang menyebabkan error tersebut agar nanti saat gue menemukan kasus yang sama, gue udah tau bagaimana cara menyelesaikannya.
Gak berasa ternyata udah sore saat gue meyelesaikan les privat gue ini dengan Rama. Setelah pamit ke Nyokap Rama dan curhat-curhatan bentar sama Rima, akhirnya gue bergegas ke halaman depan untuk menunggu Rama yang akan mengantar gue pulang ke kostan. Tapi di saat gue sedang menunggu Rama, tiba-tiba Rachel muncul dari gerbang depan dengan mobil KIA merah kecilnya. Dia menghetikan mobilnya tepat di depan gue yang berdiri beberapa meter dari teras rumah depan. Perlahan pintu mobilnya terbuka dan terlihat kaki panjangnya keluar dari dalam, lalu diikuti dengan tubuhnya yang langsing. Beberapa detik kemudian dia sudah berdiri di samping mobilnya dengan efek angin yang menyibakan rambut hitam gelapnya ke belakang, menampakan ke anggunan dan kecantikan yang terpancar dari tiap jengal tubuhnya. Dengan kaca mata hitam yang bertengger pada hidungnya yang mancung dan tas kecil kulit mahal yang berayun pada tangan kanannya, dia melihat ke sosok gue yang sejak tadi sudah berada di tempat ini. Dia berjalan ke arah gue. Saat itu Rama baru saja keluar dari pintu rumah.
“Rachel?” Rama tampak kaget melihat Rachel yang tiba-tiba nongol di rumahnya.
Gue memandangi Rama yang malah muncul dengan raut kekhawatiran di wajahnya. Gue gak ngerti, seharunya itu khawatir. Rasa takut yang akan membuat ceweknya salah paham karena gue, mantan temennya lagi ada di rumahnya. Tapi gue malah menangkap ekspresi bingung yang terbentuk dari wajahnya saat sekilas menatap gue.
“Loe ngapain?” Tanya Rama lagi.
“Tante Tiara (Nyokap Rama) yang nyuruh gue ke sini. Kenapa? Loe kayak kaget gitu?” Rachel mewakili pertanyaan yang muncul di kepala gue.
Rama salah tingkah. Reaksi yang aneh. Gue jadi curiga sama sikap dia yang seperti itu.
Rachel kembali menoleh ke arah gue. Dia membuka kaca mata hitamnya dan tampaklah matanya yang bulat dan coklat. Bagus! Ini adalah puncak dari rencana gue. Ayo, marah lah sama gue, marah lah sama gue yang sekarang lagi ada di rumah cowok loe… orang yang loe suruh untuk ngejauh dari gue tapi malah diam-diam masih berhubungan di belakang loe. Ayo marah sama gue, jambak rambut gue, maki-maki gue depan Rama kayak cewek histeris yang takut cowoknya diambil orang.
“Ocha… apa kabar? Udah lama banget gak ketemu…” Rachel dengan santainya malah tersenyum ramah ke gue dan dengan tanpa canggung memeluk gue di depan Rama dengan pelukan yang menghangatkan.
Gue melirik ke arah Rama yang masih berdiri di samping gue dengan heran. Rama membuang pandangannya dari mata gue. Gue mencium sesuatu yang tidak beres dengan sikapnya.
Rachel melepas pelukannya. Gue coba mencari keramahan yang dibuat-buat, keterpaksaan yang sebenarnya tak ingin di lakukan dari sorot mata Rachel saat itu. Tapi sayangnya gue gak menemukannya sedikit pun. Ada dua kemungkinan yang dapat gue ambil saat itu, yaitu antara Rachel begitu jagonya menyembunyikan kecemburuan di dalam hatinya, atau Rachel benar-benar gak ngerasa cemburu sama sekali dengan gue…. Apapun itu gue harus menyelidikinya lebih lanjut. Rama, anak ini sangat berbahaya. Dia berotak licik.
 (-_-“)(-_-“)(-_-“)
           
            Setiap selesai UAS pada hari itu, gue langsung minta Rama buat ngajarin gue untuk UAS mata kuliah besok harinya, di rumahnya. Kenapa harus di rumahnya? Biar gue bisa ketemu sama Rachel dan dapat menjalankan penelitian gue selanjutnya.
            Saat di tengah-tengah agenda belajar gue bareng Rama, ternyata benar bahwa hampir setiap hari Rachel datang ke rumah Rama. Setiap dia datang alasan yang dia lontarkan selalu, “Gue ada urusan sama Tante Tiara….” Sesuatu yang janggal, bukan? Tapi lagi-lagi, seperti biasanya Rachel melihat gue dan Rama dengan ‘biasa’ aja. Gak ada kecemburuan sama sekali yang terlintas dari sorot matanya saat memandangi gue yang lagi-lagi masih terlihat akrab dengan cowoknya. Asli! Setiap tingkah yang dia tunjukan tidak menggambarkan sedikitpun kalau dia adalah orang yang pernah meminta Rama untuk menjauh dari gue karena terbakar api cemburu. Untuk membuktikan itu gue harus melakukan penelitian serius yang mungkin akan mengancam masa depan gue. Tapi ini tetap harus dilakukan untuk Nusa dan Bangsa yang terancam akibat penghianatan dari orang yang telah dipercaya sejak lama (Rama –red).
            Penelitian pertama gue adalah dengan memancing rasa cemburu Rachel. Tapi karena gue bukan tipe cewek jendil yang berpengalaman membuat cowok di dekatnya deg-degan sampai ngap-ngapan, akhirnya gue cuma berusaha mencari taktik dengan kedangkalan otak yang gue punya.
            Ceritanya saat itu, gue dan Rama lagi coba-coba bikin projek program. Dan kebetulan Rachel lagi asyik ngeliatain kita berdua. Otomatis ini adalah waktu yang tepat untuk mencoba rencana gue. Rama masih sibuk menjelaskan fungsi sebuah listing pada layar laptopnya, tapi gue dengan sengaja mendorong wajah gue semakin dekat ke wajah Rama dengan modus agar semakin jelas menatap ke layar laptop.
            “Oh yang itu… iya-iya” Gue pura-pura ngerti.
            Rama menolehkan wajahnya ke arah gue dan menemukan wajah gue yang sangat dekat dengan wajahnya. Bagus! Sampai sejauh ini rencana gue berjalan dengan baik. Gue menatap Rachel yang berada tidak jauh dari kami dan bagusnya dia menyadari adegan yang gue yakin dapat membuat cewek apapun akan cemburu melihatnya. Ayo Rachel, keluarkan semua amarahmu, jangan ditahan… marah-marahilah gue yang terlalu intim dengan cowok loe…
            Lama gue menunggu tapi tak ada respon sedikit pun yang gue terima baik dari Rachel maupun Rama. Rachel malah cuma menatap gue dengan wajah kagetnya, hanya sebatas itu. Tak ada reaksi lain kayak dia langsung jambak rambut gue dan seret gue ke dalem kolam renang karena saking cemburunya, atau dengan seketika ngelempar gelas yang haya beberapa jengkal dari jarinya ke arah gue agar gue langsung tamat. Tapi rasa prustrasi menghampiri gue karena Rachel sama sekali tidak bereaksi seperti itu.
Dengan menghela nafas gue kembali memalingkan wajah pada layar laptop. Tapi alangkah kagetnya gue saat menemukan Rama masih dengan setia memandangi wajah gue dengan jarak yang begitu dekat yang gue sadari akibat pantulan bayangan dari layar laptop yang hitam karena mode standby. Dengan heran gue menghadapkan wajah gue pada Rama. Rama langsung bergeming dan membuang wajahnya dari pandangan gue. Gue hanya bisa menatap keanehan dari sikapnya belakangan ini.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Kemarin gue tidak berhasil membuat Rachel cemburu. Gak tau karena taktik gue salah atau emang ada faktor lain, tapi gue tetep tidak gencar untuk terus melakukan penelitian ini. Ini saatnya gue untuk mencoba untuk menggoda Rama sedikit. Dan gue harap respon yang dia berikan adalah sesuatu yang gue harapkan, bukan sebaliknya.
            Hari ini Rachel tidak datang ke rumah Rama. Dengan leluasa gue bisa menjalankan rencana ke dua gue ini. Suatu waktu, Rama baru saja kembali dari membawa dua gelas minum dan beberapa cemilan untuk menemani waktu belajar kami hari ini. Dia meletakan nampan berisi kue-kue yang terlihat enak itu di atas meja bulat berpayung yang diletakan tidak jauh dari bibir kolam renang di belakang taman rumah Rama. Gue berpura-pura sibuk dengan soal-soal yang ada di dalam buku.
            “Minum dulu Cha.” Perintah Rama. Ya, gue nurut.
            Dengan perlahan gue mengambil gelas berisi jus jeruk itu dan meminumya dengan khitmad, sedangkan Rama mencoba untuk memeriksa apakah soal yang gue kerjakan sudah terjawab dengan tepat atau belum.
            “Bagan ini harusnya kayak gini,” Rama menunjuk sebuah gambar alur program yang tadi gue buat. “Terus yang ini juga salah, harusnya panahnya ke sini…”
            Rama melirik seketika ke arah gue, baru saja ia mau melanjutkan penjelasannya, dengan seketika dia berhenti bicara karena gue tiba-tiba menagis.
            “Ocha, loe kenapa?”
            Gue menangis makin kencang, “Gue baru nyadar aja kalau ternyata selama ini gak ada yang sayang sama gue,”
             “Maksud loe?” Rama makin panik.
            Gue makin nafsu untuk nangis, “Satu-satunya temen baik gue ternyata malah ninggalin gue karena ceweknya… sakit banget tau…!”
            Rama diam. Dia tau kalau gue lagi ngomongin dia.
            Gue gak bisa berhenti. Ini udah setengah jalan, gue gak bisa berhenti.
            “Loe gak tau gue kesepian selama ini? Loe gak tau tiap malem gue nangis?”
            Rama masih diam tak bergeming.
            “Gue sempet mikir mau bunuh diri, tau gak?” Tangisan gue pecah.
            Rama tiba-tiba mendekap gue dalam pelukannya. Gue menangis di dadanya. Tangisan yang sama sekali gak bisa gue control, seolah ini bukan sebuah drama yang udah gue atur skenarionya. Seakan ini adalah sesuatu yang benar-benar keluar dari hati gue.
            Saat sadar, betapa malunya gue yang masih didekap erat oleh Rama. gue bego-begoin diri sendiri yang malah terlarut dalam kesedihan dan bukannya melakukan sebuah penelitian penting.
            Rama gue dorong dengan kuat untuk menjauh dari tubuh gue. gue berpaling melanjutkan soal yang tadi belum gue selesaikan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
           
Akhirnya UAS yang sangat menyeramkan itu selesai juga. Itu artinya saatnya untuk bersenang-senang dan tidak perlu lagi memikirkan tugas menunpuk, projek-projek program yang rumit dan quiz-quiz dadakan dari Dosen.
Hari ini setelah perkuliahan selesai, sore harinya gue, diajak Rama ke rumahnya untuk merayakan selesainya UAS kami. Gue setuju-setuju aja karena gue emang lagi butuh hiburan dan kebetulan juga saat ini gue lagi laper. Gue dengan naik bareng mobilnya Rama langsung berangkat ke rumahnya. 
Singkat cerita, gue, Rama dimeriahkan oleh Rachel, Nyokap Rama dan Rima mulai berpesta kecil-kecilan dengan makan-makan sampai kami semua tidak sanggup lagi untuk menelan apapun. Karena sekarang sudah malam, jadi agenda hari ini adalah menonton film horror di ruang keluarga sambil gelap-gelapan. Gue, Rima, Rama dan Rachel sedang asyik menonton pada TV LED besar berukuran 68 Inc yang ada pada lantai dua rumahnya. Efek seremnya lebih kerasa saat loe menonton adegan horror di TV yang layarnya segede layar Aquarium. Loe bisa menemukan ketegangan lebih saat seorang kuntilanak dengan muka ancurnya tiba-tiba menampakan diri di kamera. Serius kalau loe gak menjerit, loe adalah orang yang paling kuat imannya. Setiap adegan setan ngagetin penonton dengan nongol tiba-tiba, dengan serontak kami bertiga, gue, Rima dan Rachel langsung berteriak dengan kencang sambil memeluk satu-satunya jajaka yang ada di ruangan itu.
“Kak minumnya abis nih…” kata Rima di tengah-tengah menonton.
“Biar Kakak yang ambil.” Rachel langsung bergegas pergi untuk mengambil minuman baru di lantai bawah.
Tak lama Rachel datang dengan nampan yang berisi beberapa cangkir susu hangat yang aromanya sudah tercium pada seisi ruangan. Tapi saat Rachel sedang berjalan ke arah kami, tanpa sengaja kakinya tersandung salah satu kaki lemari yang ada di dekatnya sehingga terjatulah seluruh gelas yang ada di atas nampan itu. Nampan itu menghantam tepat ke kaki Rachel yang berada di bawahnya sedangkan cangkir itu terbelah berkeping-keping dengan salah satu kepingannya sukses mendarat di pergelangan tangan kiri gue dan menorehkan sedikit luka di sana.
Rama, gue dan Rima dengan reflek langsung melompat dari tempat kami. Nyokap Rama seketikan itu naik ke atas untuk melihat keributan di sana. Rama menyalakan lampu dan terlihat lah susu hangat bercampur pecahan gelas keramik bercecerah mengotori ruangan itu.
Rachel meringis karena kakinya tertimpa nampan yang terlihat cukup berat itu.
“Kak, Kak Ocha berdarah!” Rima berteriak di samping gue.
Gue yang mendengarnya terkejut dan langsung mendapati tetesan darah yang mengalir luar biasa deras dari pergelangan tangan gue sebelah kiri. Gue sibakan lengan baju gue yang menutupinya dan didapatilah luka goresan yang cukup dalam, yang menyebabkan cairan merah yang banyak itu.
“Tekan pergelangan tangannya Rama! Ocha bisa kehabisan darah.” Nyokap Rama langsung dengan sigap mengevakuasi gue ke dapur. Rama mengurus luka Rachel yang sepertinya tidak terlalu parah.
Nyokap Rama langsung membalut luka di tangan gue ini dengan perban yang sangat banyak dan di ikat sangat kencang. Nyokap Rama dulunya adalah seorang perawat, jadi dia tau apa yang dia lakukan untuk pertolongan pertama pada luka seperti yang sedang gue alami ini.
Tak lama Rama datang ke dapur dan langsung mengajak gue untuk pergi ke rumah sakit. Rama membopong gue melewati ruang makan dan ruang tengah. Saat di ruang tengah gue temukan Rima sedang mengintip di balik tangga dengan wajah yang sangat menghawatirkan gue. Sebisa mungkin gue harus tersenyum padanya untuk menunjukan kalau gue baik-baik saja dan memintanya agar tidak perlu mengkhawatirkan gue. Sampai di garasi, Rama langsung menaruh gue di kursi penumpang di sebelahnya. Dia masuk lewat pintu satunya dan mulai menyalakan mobil, dan beranjak keluar dari gerbang besar rumahnya.
            Gue disebelahnya masih terdiam menatapi pergelangan tangan gue yang kini sudah terbalut kasa walaupun rasanya tangan gue sudah mulai mati rasa. Mungkin karena banyaknya darah yang keluar. tapi kain yang membalut tangan ini cukup membantu karena darahnya sudah tidak mengalir sederas itu lagi. Rama menoleh ke arah gue beberapa kali. Setiap dia menoleh, semakin kencang pula dia menancap pedal gas di bawah kakinya.
            Rama masih sibuk menyetir. Kali ini dia menyetir semakin garang, dari mulai nyalip truk yang mau parkir, nerobos lampu merah padahal ada mobil lain berlawanan arah mau lewat, hampir nyerempet motor, sampai dicaci-maki sama pengendara lain yang udah ngambil jalurnya.
Itu bukannya bikin gue malah jadi tenang karena bisa dengan cepat sampai di Rumah Sakit, tapi malah bikin gue tambah panik karena dengan begini cara gue mati hanya tinggal melalui dua jalan: kalau gak karena kehabisan darah, paling gue mati karena kecelakaan akibat nyetir gila-gilaannya si Rama. Alhasil emosi gue memuncak mengalahkan syok yang sempat menyerang gue tadi.
            “LOE GILA YAH…? PELAN-PELAN DIKIT DONG…!”
            Rama kaget dengar gue yang tadinya cuma diam, sekarang tiba-tiba udah bisa bentak-bentak dia dengan wajah yang makin putih kehabisan darah. Tapi Rama gak bergeming. Dia masih dengan pedal gas yang di tekan dalam, tidak memperdulikan ketakutan yang gue rasakan.
            “RAMA…?” Gue berteriak lagi.
            Rama masih tidak menghiraukan gue.
            “RAMA, LOE PENGEN GUE MATI DI SINI?”
            Lagi-lagi Rama masih gak mau dengerin gue. Ekspresi wajahnya gak bisa gue lukiskan dengan kata-katanya. Gak tau deh, antara panik, kesel, tengang….
            Untuk yang kesekian kalinya gue mau protes, tapi tiba-tiba kepala gue menjadi berkunang-kunang, seketika semua menjadi semakin gelap seolah meredup. Sekujur tubuh gue terasa begitu tidak bertenaga bahkan hanya sekedar untuk menggerakan bibir. Gue terkapar lemas kehilangan kesadaran pada kursi,  di sebelah Rama.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Saat sadar, gue udah ada di sebuah ruangan putih dengan bau rumah sakit khas yang menyeruak menembus hidung gue. Dengan kantung darah yang disalurkan dengan selang ke nadi gue, perban baru pada torehan di pergelangan tangan kiri gue, akhirnya kesadaran gue kembali sepenuhnya.
            Nama gue… Ocha! Gue anak ada Rahmat Sudoro dan Herly Nurhayati. Siip! Gue gak lupa ingatan. 
            “Mah, Kak Ocha udah sadar…” Rima dengan wajah lelahnya berteriak, membuat semua yang ada di ruangan itu langsung menghampiri ranjang gue.
             Rachel berkali-kali meminta maaf atas kecerobohan yang hampir merenggut nyawa gue karena pecahan beling yang mengenai urat nadi di pergelangan tangan kiri gue. Dengan santai gue menenangkannya agar tidak perlu khawatir lagi, dan menunjukan bahwa gue udah gak papa sekarang.
            Rima masih berlinangan air mata di samping ranjang gue, meluk gue sambil terisak-isak. Gue cuma bisa mengelus-elus kepalanya untuk menenangkannya bahwa gue masih ada di sini bersamanya.
            Nyokapnya Rama tersenyum di sebelah ranjang gue sambil mengelus-elus kepala gue dengan lembut. Tapi tiba-tiba gue teringat sesuatu.
            “Tante, Ngasih tau Mamah gak kalau aku masuk Rumah Sakit?” Tanya gue panik.
            “Sebenarnya Tante pengen ngasih tau mereka… tapi Rama ngelarang.”
            Gue lega. Kalau sampai Nyokap-Bokap gue tau kalau gue sekarang lagi terbaring lemah di ranjang rumah sakit, dengan infus dan luka sayatan di bagian kiri tangan, nanti dikira ini adalah percobaan bunuh diri karena anaknya gak bisa ngerjain tugas-tugas Kuliah yang menjelimetkan. Bisa syok mereka kalau itu beneran kejadian. Rama pinter… untung dia ngelarang Nyokapnya untuk ngasih tau Nyokap gue.
            Oia, ngomong-ngomong soal Rama, itu anak ada di mana sekarang? Masa gue udah sadar gini gak ditengokin. Udah sempet bikin gue yang lagi terluka malah tambah panik gara-gara gaya nyetirnya dia, pula! Untung gue sadaranya di Rumah Sakit. Gimana kalau gue sadarnya di dalam tanah dan disambut dengan malaikan yang langsung nanya “Marrobbuka?” kan gue masih belum ngebahagiain Bonyok gue….
            Alhasil, sampai gue keluar dari Rumah Sakit, Rama masih gak menampakan batang hidungnya.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Karena insiden sayatan beling yang di lakukan Rachel tanpa sengaja kepada tangan kiri gue yang begitu berharga ini, Rama dengan setia menjaga gue, mengantar-jemput gue tiap hari pulang-pergi kampus-kostan, dan membelikan makanan yang bergizi untuk gue.
            Terlihat seperti normal kembali, kan? tapi sebenarnya tidak. Rama sama sekali berbeda. Semenjak tragedi itu, dia menjadi sangat-sangat-sangat pendiam sama gue. setiap pertanyaan yang gue lontarkan selalu dijawab dengan singkat, ‘Ya’ atau ‘Ngak’. Terus saat gue bercerita panjang lebar tentang sesuatu yang gue pikir lucu dan menarik, dia hanya menerawang jauh saat gue menceritakannya dan saat selesai, hanya ‘Oh’ yang dia berikan.
            Kalau Rama adalah cewek, gue bisa berfikir positif kalau Rama lagi PMS… tapi berhubung Rama adalah cowok, masa dia lagi… yang kalian ngerti, lah.
            Suatu hari saat kami berdua sedang bersantai di bawah pohon di taman belakang gedung Fakultas, dan Rama sedang menatap fokus ke layar laptopnya, gue yang gak tahan dengan sikap pendiamnya, akhirnya mencoba untuk membuka mulut.
            “Rama?”
            Tapi sayangnya dia gak bergeming.
            Gue memutuskan untuk terus melanjutkannya, “Gue kesel deh sama temen gue, masa sekararang dia nyuekin gue. lebih parah dari dicampakan dulu, tau gak!”
            Rama mulai menunjukan bahwa dia merespon ucapan gue dengan memasang wajah penuh keheranan.
            “Gue lagi ngomongin orang yang namanya Rama…” gue memperjelas.
            Rama diam, sebelum akhirnya menjawab, “Sorry… ini semua salah gue.”
            Haaahhh…! Udah berapa kali ini anak mau minta maaf terus ke gue? kalau udah tau salah, ya rubah dong sikapnya, jangan nyuekin gue gitu. Gue juga, kan jadi sedih kalau dicuekin mulu sama dia.
            Keluar dari kampus, kita berdua langsung dicegat sama Rachel yang udah berdiri di sebelah mobilnya Rama. Tapi kali ini Rachel gak sendiri, dia ditemani oleh seorang Tante-tante kece dengan penampilan khas yang mencerminkan dirinya sebagai orang kaya. Gue bisa menyimpulkan bahwa itu adalah Nyokapnya Rachel.
            Rachel langsung berlari ke arah gue begitu dia melihat gue datang menghampirinya. Dia langsung menyodorkan kantung-kantung kertas dari toko-toko pakaian mahal yang sangat banyak ke arah gue.
            “Ini buat loe…”
            Gue menerima bungkusan yang sangat-sangat banyak itu sehingga tangan gue hampir penuh karenanya. “Oh, makasih Hel” Kata gue.
            “Oia, mungkin Ocha belum tau, ini Nyokap gue… dia mau jemput gue ke sini…”
            “Jemput?” Gue mangap karena gak ngerti.
            “Iya, hari ini liburan gue selama sebulan di Indonesia selesai. Gue mau pamit buat balik ke Amrik. Rama gak ngasih tau?”
            “Oh, loe cuma liburan di sini… terus…” Gue melirik sebentar ke arah Rama. Ekspresinya masih datar. “Kalian LDR dong?”
            Rachel memandang gue sambil tersenyum sebelum akhirnya menarik tangan gue untuk menjauh sebentar dari Rama dan Nyokapnya. “Ocha, sini deh!”
            “Kenapa?” Tanya gue.
            “Kasian si Rama, jangan di gantungin lama-lama… udah saatnya loe jujur sama perasaan loe sendiri.”
            Gue masih mangap dengerin omongan Rachel.
            “Loe tau, kan proses berfikir dia yang dahsyat itu, semuanya dia lakukan buat loe…” Rachel melanjutkan.
            Gue kembali melirik Rama yang dengan sopan sedang mengajak Nyokap Rachel berbincang sementara kita berdua berbisik-bisik di sini.
            “Eh… tunggu! Gue gak ngerti maksud loe…”
            Rachel menghelas nafas. Dia mengusap punggung gue dengan lembut bak seorang ibu yang sedang mengusap punggung anaknya. Gue jadi ngantuk. Kalau Rachel terus seperti ini untuk 5 menit lagi, gue pasti udah terlelap, tidur sambil berdiri di parkiran kampus.
            “Rama selalu baca semua cerpen yang loe buat di majalah kampus…”
            “Wajar dong, dia, kan kuliah di sini… kalau dia baca majalah kampus orang, itu artinya penghianatan terhadap almamater.”
            “Aduh… Ocha, loe tuh gak peka banget, sih jadi orang… gini aja deh, loe pernah masuk ke kamarnya Rama?”
            Gue menggeleng. “Rama ngelarang gue buat dekat-dekat  kamarnya. Yah, lagian siapa juga yang mau masuk kamar dia…”
            “Loe tau alasan dia ngelarang loe buat masuk kamarnya? Sedangkan gue dengan bebasnya bisa keluar-masuk dari kamarnya?”
            “Loe pernah masuk kamarnya?” sebuah fakta yang sedikit membuat gue iri. “Yah, loe, kan temen kecilnya dia,”
            “Loe sahabatnya…!” Kata Rachel “Kalau loe mau tau jawabannya, gue minta loe buat masuk ke kamar Rama, loe akan ngerti deh.”
            Setelah meninggalkan gue dengan kebingungan yang berputar-putar di kepala gue, akhirnya Rachel dan Nyokapnya pamit untuk segera ke Bandara karena sebentar lagi pesawat yang mereka tumpangi akan berangkat. Tinggal lah gue dan Rama yang sedang dalam perjalanan pulang di dalam mobil.
            Gue melipat kedua tangan di depan dada dan memonyongkan bibir gue semonyong-monyongnya. Rama menyadari ke-bette-an yang sedang melanda gue, tapi lagi-lagi dia cuma diam kayak orang bisu. Waktu berlalu dalam kemelut kebisuan di antara kita berdua. Hobi baru Rama untuk jadi pindiem ini udah dengan sukses bikin gue galau tingkat Olimpiade London. Lama-lama gue mulai stress duduk di sebelah orang yang lagi nyetirin mobilnya udah kayak kuda yang lagi bawa ando. Ada kaca mata kuda transparan di kedua pelipisnya, memanjang kedepan agar tidak menoleh kepada apa yang ada di sebelahnya.
Akhirnya gue nyerah dan mulai melontarkan semua yang mengganjal di hati, “Rachel kayaknya baik banget. Gak mungkin dia merasa bersalah ke gue sampai beliin baju mahal segala kalau dia punya sikap cemburuan.”
Rama di sebelah gue masih diem.
“Kayaknya keahlian loe emang kayak gitu, yah? Pura-pura pacaran, pura-pura dia cemburu biar ada alasan buat ngejauh dari gue?”
Rama akhirnya bergeming dan melirik gue dalam kelirihan di matanya. Sambil menyetir dia masih berusaha mencerna unek-unek yang gue lontarkan.
“LOE UDAH BOSEN JADI SAHABAT GUE?” Akhirnya air mata gue gak bisa terbendung lagi. Di dalam mobil Rama gue merengek, dengan kencang sambil mukul-mukul, noyor-noyor kepala dia. Rama membawa mobilnya ke pinggir jalan. Tapi saat mobil sudah aman di pinggir, dengan seketika gue langsung membuka pintu mobil di sebelah gue dan menghambur keluar dari dalam mobilnya.

“Ocha…Ocha…Tunggu!” Rama berteriak di belakang gue. Dia mengejar gue meninggalkan mobilnya dengan pintu terbuka.
“OCHA… TUNGGU…!” Rama masih berusaha mengejar gue.
Kesalahan pertama yang gue buat adalah: Pertama, gue memutuskan untuk kabur dari mobil Rama saat mobilnya sudah mulai masuk ke Perumahan mewah tempat di mana rumah Rama berada. Alhasil gue dan Rama udah kayak film India yang kejar-kejaran di jalanan sepi yang dihiasi bunga-bunga bermekaran di pinggirnya. Dan Kedua, jalur yang gue tau setelah masuk ke perumahan mewah ini adalah yang menuju ke tempat di mana Rumah Rama berada. Otomatis kaki gue hanya melangkah ke jalur yang gue kenal itu.
“OCHA…!” Rama mulai berlari mengejar, hampir mendahului.
Melihat Rama berlari tepat beberapa meter di belakang gue, gue langsung dengan seketika menambah kecepatan lari mejadi maksimal. Alhasil, Rama udah kayak SATPOL PP yang lagi ngejar-ngejar Banci Kaleng.
“OCHA… TUNGGU…!” Teriak Rama, lagi di belakang gue.
“NGAK MAU…” Gue semakin ngebut berlari.
“GUE BISA JELASIN SEMUANYA…”
“GUE GAK MAU DENGER…”
Rama menukik tajam dan berbelok ke sebuah jalan sempit untuk memotong jalan. Dia mendahului gue menyusup ke sebuah jalan kecil antara bangunan dan tembok tinggi yang mengapitnya. Dia berhasil menghadang gue di depannya. Gue mengerem.
“GUE EMANG MINTA RACHEL BUAT PURA-PURA JADI CEWEK GUE DI DEPAN LOE,”
Gue berbalik arah dan mulai berlari mencari jalan lain. Rama kembali mengejar gue.
“GAK PEDULI…!” Gue menemukan sebuah perempatan di depan. Tapi karena ada ‘Anjing Herder’ yang ngejar gue di belakang, dengan seketika gue menikung ke sebelah kanan untuk mengelabui Rama.
“SAAT GUE BILANG KALAU RACHEL GAK SUKA GUE DEKAT-DEKAT SAMA LOE, ITU SEMUA IDE GUE…”
“BODO AMET…!” Gue mengambil jalan pintas dengan menembus sebuah taman Komplek, berputar-putar dengan ayunan dan beberapa perosotan yang ada di dalamnya.
“OCHA, PLIS DENGERIN GUE DULU… GUE NGELAKUIN SEMUA INI KARENA ADA ALASANNYA…” Rama masih berusaha membujuk gue untuk berhenti.
“GAK MAU! Wleeee…!” Gue menjulurkan lidah padanya dan kembali berlari ke jalan utama, lalu berbalik arah untuk sedikit mengacaukan arah berlari Rama.
“OCHA… GUE NGELAKUIN ITU KARENA…”
Belum selesai Rama dengan kalimatnya, gue langsung menukik tajam dan masuk ke sebuah rumah besar yang ternyata adalah rumah Rama sendiri. Gue saat itu tidak memikirkan resiko apa yang terjadi saat gue memilih untuk masuk ke kandang ‘Singa’. Tapi karena gue gak bisa berhenti, akhirnya gue terobos aja pagar depan rumah Rama sampai diliatin sama tukang kebunnya karena gue, dengan disusul Rama di belakang, berlarian masuk ke dalam rumah dengan tidak biasa.
Gue berlari tanpa arah, kemanapun ada jalan, gue akan berlari ke situ. Di dalam rumah Rama yang cukup luas ini gue dapat berputar balik atau memotong arah melewati dapur, lalu tembus ke taman belakang, di ikuti Rama yang kayaknya makin gak sabar untuk cepet-cepet nangkap gue.
Selincah-lincahnya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Begitu juga dengan gue yang segitu lincahnya berlari dan menghindar akhirnya terhenti juga oleh keputusan yang salah memutari ruang tengah dan akhirnya tertangkap saat akan berlari keluar dari ruangan itu. Rama merentangkan tanganya tepat di depan gue, dia siap menangkap gue dalam cengkramannya. Gue udah kayak kucing yang terpojok, yang cuma bisa mengerang untuk pertahanan terakhir dalam menakut-nakuti lawannya. Tapi, secercah harapan mulai muncul karena mata gue tidak sengaja menangkap tangga yang mengarah ke lantai atas berada dekat dengan gue untuk tempat kabur terakhir.
Rama di depan gue akhirnya berhenti untuk menarik nafas. Dia tidak tau kalau ternyata dalam soal berlari cewek mungil yang punya kaki pendek ini ternyata lebih lincah darinya yang punya kaki panjang. Setelah dirasa cukup bagi Rama untuk mengembalikan oksigen yang sudah terbakar karena berlari tadi, akhirnya dia mencoba untuk menghemat energi dengan perlahan berjalan menghampiri gue yang terlihat sudah terkepung. Tapi dengan seketika itu juga gue langsung, dengan kecepatan cahaya, menukik dan memanjat tangga tersebut yang tenyata malah mengantarkan gue pada jalan buntu yang lain. Rama mengejar gue yang ternyata masih dengan santai karena dia tau arah yang gue tuju adalah jalan buntu. Rama akhirnya sampai di lantai dua rumahnya ini. Dia, di belakang gue udah siap dengan tangan yang direntangkannya untuk menangkap gue agar tidak kabur lagi. Gue masih dengan sisa tenaga, berusaha mencari jalan keluar dengan titik harapan gue yang mulai meredup.
Rama udah tepat di belakang gue, beberapa meter lagi dari gue. Semakin panik, gue menemukan ada sebuah pintu tak di kunci tepat di sebelah gue. dengan segala kekuatan, gue buka pintu kamar itu, mengayun dengan sisa tenaga sehingga menerbangkan kertas-kertas yang ada ada di dalamnya karena saking kencangnya ayunan pintu yang gue buka.
Seluruh potongan kertas itu ternyata adalah guntingan seluruh cerpen yang di terbitkan di majalah kampus. Dengan selewat dapat gue lihat judul-judul dari potongan itu sangat familiar dengan gue, karena gue sendirilah yang mengarangnya.
Pertama kalinya gue melihat bagaimana kamar Rama, sahabat yang udah gue kenal hampir 4 tahun ini. Di setiap pojok dindingnya terpajang Foto-foto gue bersama Rama, mulai dari saat kami masih SMA sampai kuliah sekarang dengan bingkai besar, dengan dipaku pada Sterofom… dengan hiasan yang membuatnya menjadi semakin indah… semua ini, semua yang gue liat ini adalah sesuatu yang Rama sembunyikan dari gue selama ini.
“Ocha, gue sayang sama loe…” Rama akhirnya menangkap gue dalam pelukannya. Dia membisikan sebuah kata yang hentah sudah berapa lama di pendamnya dalam dada, tersangkut di tenggorokannya, dan terkubur dalam hatinya.
Gue tersenyum saking gembirnya, tak terasa air mata gue kembali berlinang. Gue membalikan badan dan memeluk dengan erat seseorang yang sangat berharga dalam hidup gue itu.
“Rama, gue kira loe suka nyimpen majalah Porno di kamar, sampai gue gak boleh masuk ke kamar loe…”
“APA?”
Gue kembali memeluknya dengan sangat erat. Si orang gila dengan pikiran dahsyatnya, yang membuat gue bisa dengan seketika tertawa, dengan seketika marah, dan dengan seketika menangis.
“IDIOT…!”
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Gue, selama liburan kuliah mencoba untuk menulis sebuah novel pertama gue, dengan tokoh utamanya adalah Rama dan Ocha, sepasang sahabat yang terikat oleh sebuah kutukan cinta dan berakhir dengan cinta.
            Dan bagusnya lagi, gak tau editornya lagi mabok pas baca naskah gue, atau emang naskah gue ketuker sama naskah orang yang kebetulan nama penulisnya sama, yang jelas naskah gue itu akhirnya di terbitkan menjadi sebuah novel remaja cinta yang akan ada di seluruh toko-toko buku di Indonesia.
            Gue bisa mencium aroma bahagia dari udara pagi di mana akhirnya gue bisa debut menjadi seorang penulis sesunggunya. Meraih salah satu mimpi besar dalam hidup gue yang singkat namun bermakna ini.
            Tiinn…Tiinn… Suara klakson mobil berteriak dari luar pagar kostan. Gue berlari menuju pagar dan menemukan Rama sedang bersender di mobilnya.
            “Rama…” Gue menyambutnya dengan senyum terindah yang bisa gue usahakan pada pagi itu.
            Rama menghampiri gue dan menunjukan sebuah buku kecil yang ada di tangannya. Buku bersampul merah muda dengan simbol bekas gigitan hati di tengahnya itu dia sodorkan tepat ke muka gue.
            ‘Teman Makan Cinta.” Judul itu menjadi judul yang gue rasa cocok sebagai karya awal di debut gue ini.
            Rama tersenyum ke arah gue dengan bangganya. Di jidatnya tertulis jelas “Cewek gue sekarang seorang penulis, gue juga mungkin bisa ikut tenar.”
            Rama yang gila ternyata emang gak bisa waras untuk selama-lamanya. Malah gue yang ketularan gila, sekarang.
            Inilah salah satu kepingan mozaik dalam kehidupan muda gue yang selalu ceria dan bahagia….
            “Rama, gue mau cerita tentang cowok gue yang keren dan gila…!”
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

TAMAT