02
|
Feeling gue tentang –kejadian ini akan berlangsung cukup lama– akhirnya
menjadi kenyataan. Gue yang punya cita-cita dan tujuan mulia menjadi seorang programmer ternama dengan susah payah
akhirnya dapat diterima disebuah Akademi yang cukup punya nama di Bandung. Cukup-punya-nama
di sini artinya bener-bener cuma cukup-punya-nama doang. Dan hidup gue akan semakin kelam karena ternyata
si Rama ini juga masuk Akademi dan jurusan yang sama dengan gue. Gue ulangi,
Akademi dan jurusan yang sama dengan gue. Dan akhirnya, tak pernah ada lagi
hari tenang… Sorry, hari nomal dalam hidup gue.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
“Kenapa ancur gitu muka loe?”
tanya Rama yang tiba-tiba nongol di antara bayang-bayang kelam otak gue.
“Gue kayaknya salah ambil jurusan…”
Gue masih memandangi langit yang seakan udah mau runtuh.
“Kenapa? Mata kuliah C++ loe masih jelek?”
(Sedikit
penjelasan, mata kuliah C++ adalah mata kuliah tentang bahasa pemograman yang
dipelajari sebagai dasar dari ilmu pemograman pada jurusan Komputer.)
“Gila gak? Bahasa Indonesia aja gue
masih kagak bisa, apalagi disuruh belajar bahasa komputer, mati berdiri gue….!”
Tapi kali ini cowok yang dapet image kalem dari cewek-cewek kelas itu
malah gak peduli dengan curahan hati gue.
Gue melengos. Bodo ah! Gue udah biasa
dicuekin sama dia.
“Cha?” panggil Rama tiba-tiba.
“Apa?” gue garuk-garuk kepala.
“Pacaran yuk!”
Oke. Di sini gue lagi pusing dengan
nilai kuliah gue yang ancur. Otomatis gue gak langsung konek sama apa yang
dibicarain sama si Rama. Alhasil, gue perlu waktu beberapa detik untuk mencerna
kata demi kata yang terlontar dari mulutnya.
“APA?” Gue berteriak. Rama kaget.
Gue apa lagi.
“Ya, iya… loe mau gak pacaran sama
gue.”
Gue geleng-geleng dengan bibir
moyong yang paling moyong yang bisa di-usahakan. “Ogah gila gue jadi pacar loe.
Bisa abis gue dikuliti sama cewek yang suka neror loe tiap malem itu.”
Yup! Jadi ceritanya tiap malem, si
Rama sering ditelepon sama cewek yang kayaknya lagi kasmaran tingkat nasional
sama dia. Setiap itu cewek nelepon, pertanyaan yang ditanyain kayak: lagi apa?
Udah makan belum? Boleh kenal lebih jauh gak? Kapan gak sibuk? Dan lain-lain.
Sampai si Rama ini mulai stress dan mengancam akan operasi plastik jadi rata
mukanya, biar gak ada lagi yang menerornya.
Kalau gue, sih merasa wajar-wajar aja ada cewek yang sampai berani
nelepon dia hampir tiap malem gitu. Abisnya sikap cuek yang udah kelewatan dari
anak ini, malah menimbulkan kesan misterius yang bikin cewek-cewek jadi
penasaran pengen tau lebih jauh tentang dia. Gue yakin kalau mereka udah pada
tau kayak gimana gilanya si Rama, mereka pasti udah buru-buru ganti identitas dan
bermigrasi ke pulau tak berpenghuni di Antartika. Mereka akan lebih memilih
untuk hidup dengan para pinguin-pinguin di banding mengetahui bagaimana wujud
Rama yang sebenarnya.
“Kenapa tiba-tiba loe nembak gue?”
tanya gue lagi.
“Justru itu Cha, gue risih kalau ada
yang neleponin gue tiap malem…”
“Lah! Loe gak usah angkat aja.”
“Berisik!”
“Silent, atau matiin HP loe!”
Rama berhenti dari sesuatu yang
sedang dia kerjakan. Dengan gerakan perlahan, dia menegakkan kepala sehingga
mata bulat bak moncong AK-47 itu
membidik tepat ke mata gue. Mata jernih itu seakan siap melontarkan peluru yang
akan menghancurkan tengkorak gue sampai tak bersisa.
“Loe mau bantuin gue gak?”
Gue terkekeh. “Ngak lah! Gue gak
sebaik itu.”
Ekspresi wajah Rama mulai berubah menjadi
begitu tegang dengan urat-urat leher yang nampak timbul memanjang sampai ke
bawah rahang. Itu artinya kali ini dia gak main-main.
Perasaan gue mengatakan bahwa
sebentar lagi hidup gue akan berakhir. Sebelum itu terjadi, gue putuskan
mengambil ancang-ancang untuk menyelamatkan nyawa yang begitu berharga ini. Gue
menunggu waktu yang tepat untuk bergerak, dan saat waktu itu muncul, dengan
sekejap gue beranjak secepat kilat, berlari dengan kencang, menjauh dari mesin
pembunuh itu.
“Gue selamat.” Gue masih
ngos-ngosan, bersyukur dalam hati. “Setidaknya untuk saat ini.”
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Mata kuliah selanjutnya akan segera
dimulai. Tanpa dikawal oleh bodyguard-bodyguard
yang niatnya mau gue sewa kalau-kalau si Rama nongol, akhirnya cuma bisa
berlenggok sendirian kedalam kelas dan duduk dengan manis di meja paling depan
kelas tersebut. Posisi paling aman untuk menghindari tukang molor pas jam kuliah
kayak si Rama.
Tapi saat gue pikir gue telah aman, tiba-tiba hawa dingin menjalar masuk
ke pori-pori kulit, dan dengan seketika menusuk ke sumsum tulang membuat
jari-jari tangan gue menegang. Rama ada tepat di belakang gue. Ternyata, mata AK-47-nya masih setia memandangi gue dengan
pelik-pelik ke tajamannya. Tiba-tiba dosen mata kuliah ini masuk. Gue selamat.
Umur gue cuma sampai SKS ini selesai.
“Kalau gue udah punya cewek, dia gak
akan neror gue lagi…” Rama berjalan membuntuti gue yang udah mau balik ke
kostan.
“Ya loe tinggal jadian sama dia aja,”
gue berjalan semakin cepat.
“Gue gak mau jadian sama cewek yang
gak gue kenal.”
Rama menarik tangan gue, sehingga posisi
gue kini berhadapan dengannya. Cie banget gak, sih gue… kalau aja Rama yang
keren ini gak gila, pasti adegan ini adalah adegan romantis yang udah bisa
ngalahin drama-drama Korea yang emang lagi hits
banget di Indonesia.
“Gue yang cuma temen loe aja, udah
banyak yang sok-sok ngedeketin gue biar bisa deket sama loe. Apalagi kalau
nanti gue jadian sama loe… ah! Makin gila gue.” Gue melepas cengkramannya dari
lengan atas gue.
“Tapi sama siapa lagi gue minta
tolong kalau gak sama loe?”
Gue berhenti mendadak. Rama hampir
menabrak gue dengan dadanya. Jangan ketawa! Gue tau gue pendek. Gue yang kalau
ngobrol sama Rama sambil berdiri, udah kayak anak kecil yang cuma bisa ngobrol
sama dadanya dan harus susah payah menengadahkan kepala sekitar 30 derajat
hanya untuk melihat ekspresinya saat berbicara dengan gue. Gue sebut itu dengan
‘Derita wanita mungil’.
“Gue udah banyak liat di novel, sinetron,
film. Gue juga bisa bayangin gimana akhir dari hubungan kita nanti… menyeramkan!
Gila! Gimana masa depan gue kalau itu beneran terjadi….”
Rama diem. Mungkin dia mengerti
dengan ketakutan gue.
“Udah loe cuekin aja nanti juga dia
capek sendiri.” Gue mengakhiri.
Rama menahan tangan gue, lagi. Dia
ternyata belum mau gue mengakhirinya.
“Loe gak bisa ngerasain perasaan gue
selama ini? Loe gak ngerti kenapa gue memilih loe dari sekian banyak cewek yang
gue kenal…?”
Wajah serius ditambah memelasnya Rama tiba-tiba berubah menjadi lembut
bak malaikat bermata teduh, nada suaranya begitu halus, dan pancaran sinar
mukanya begitu menghangatkan.
Dia menatap gue dalam, “Sebenarnya, udah lama gue suka sama loe… sorry,
gue baru bisa jujur sekarang karena sebenarnya gue malu kalau harus nembak loe
terang-terangan…”
Gue bengong. Terpesona dengan
mutiara yang keluar dari mulutnya. Badan gue gemetar, panas dingin. Bibir gue
pucat. Gue gak bisa bernafas, gue mati! Oh, ngak, sorry gue cuma syok.
“Rama…” Gue mencoba untuk serius
menanggapi apa yang sedang gue hadapi ini, “Sebenarnya udah dari dulu gue… JIJIK
SAMA MUKA LOE…!” Gue bentak dia di depan mukanya dan langsung nyelonong pergi.
Rama cuma bengong sambil garuk-garuk
kepala membiarkan gue pergi gitu aja ninggalin dia, karena ternyata gue gak
bisa dikelabui dengan cara murahan kayak gitu.
Iyalah! Kalau dia mau mikir lebih simple, bisa aja dia memberikan gue
mobil BMW keluaran terbaru untuk imbalan jadi cewek pura-puranya. Kalau itu
kemahalan, dia tinggal kasih gue NIKON SLR untuk mendukung bakat gue sebagai
fotografer. Kalau aja dia ngomong gitu dari tadi, gue pasti akan langsung
bantuin dia tanpa berfikir. Katanya temen gue… masa gak kenal gue kayak gimana,
sih!
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Jam 7 malam gue baru selesai mandi
dan keramasin rambut yang udah lepek sama keringet. Gue langsung tidur-tiduran
di depan kipas sambil dengerin lagu Super
Junior, Boyband kesayangan gue. Gue
masih bernyanyi-nyanyi kecil sebelum tiba-tiba kamar kost digedor dari luar
dengan sangat kencang. Awalnya gue pikir itu adalah badut sirkus si pembunuh
berantai yang mau membasmi gue dari muka bumi ini. Tapi setelah ingat kalau gue
bukan lagi di Amrik, akhirnya gue membuka pintu itu untuk melihat siapa
gerangan yang malam-malam begini mencari mahasiswi kesepian kayak gue. Ternyata,
pas gue buka pintu kamar gue dengan perlahan, pancaran hawa dingin yang aneh
langsung merasuk ke seisi kamar. Suasana seakan menjadi sunyi-senyap. Gue
dengan mata terbelaklak menatap sosok yang sedang berdiri tepat di depan gue.
Sosok itu ternyata lebih menyeramkan dari badut pembunuh berantai yang baru gue
omongin tadi. Ini pembunuh yang sebenarnya, lebih kejam dari psikopat buatan writer-writter ternama Thriller
Amrik. Sosok itu adalah ibu kost gue yang datang buat nagih uang sewa bulan
ini.
“Ocha, mana uang sewa bulan ini, empat
ratus ribu?” si ibu kost yang punya kebiasaan ngerokok tersebut menatap gue
dengan tajam sambil mengoyang-goyangkan batang tembakau yang dililit kertas
putih di antara kedua bibirnya.
“Hehehe…” Gue cengengesan, ngambil
ancang-ancang, “Bu, Babi terbang!” Gue menunjuk ke arah langit. Terinspirasi
dari bukunya Raditya Dika yang baru
gue pinjem dari si Rama.
Saat si ibu itu menoleh, gue langsung dengan kecepatan cahaya menutup
pintu kamar gue dan menguncinya dengan rapat. Si ibu itu kembali menggedor-gedor
dengan sangar bak rentenir yang menagih hutang kepada client-nya.
“Ocha, kalau gak bisa bayar kamu
cari tempat kost yang lain, yang bisa kamu utangin…! Ocha, buka!” Gedoran ibu kost
itu semakin menggila.
Gue dengan perasaan takut, keringat
dingin dan putus asa akan hidup yang semakin singkat hanya bisa menahan pintu
itu agar tidak roboh dan menimpa tubuh mungil gue ini. Loe bayangin aja, gue
yang udah nahan pintu ini dengan seluruh tenaga yang gue punya, ternyata masih
mendapat efek goncangan akibat kuatnya gedoran monster besar pendek yang suka
mengeluarkan asap dari mulutnya itu. Kayaknya ibu kost gue ini dulunya adalah
seorang petinju perofesional. Cara dia memukul-mukul pintu, menghasilkan
harmoni bunyi antara kayu yang terpukul dengan engsel besi yang bergetar.
Sungguh professional.
“Ocha, buka pintunya…!” Tapi
tiba-tiba gedoran pintu itu melembut dan suara si ibu kost jadi lebih rendah.
Awalnya gue pikir dia keselek rokok, tapi ternyata setelah mempertajam kuping,
gue tau siapa pemilik suara bass seksi itu.
“Rama, ngapain loe?” Tanya gue saat
membuka pintu yang ternyata udah penyok kena tonjokan.
“Pintu loe kenapa?”
“Udah cuekin aja… masuk!”
Rama langsung nyelonong masuk ke
dalam kamar. Gue membetulkan pintu yang penyok dengan mendorong dari sisi yang
lain. Simple. Bener lagi. Walaupun masih terlihat bekas-bekas penganiayaan.
Rama duduk di tengah kamar dan gue duduk tepat di depan mukanya.
“Kenapa sih?” gue bertanya lagi.
Tiba-tiba HP Rama berbunyi. Di
layarnya tampak sebuah rentetan nomor yang cukup asing. Rama menatap gue
sejenak dan langsung menekan tombol telepon berwarna hijau di bawah layar.
“Halo?” dia berbicara datar ke
HP-nya.
Rama menjauhkan HP tersebut dari
telinganya. Dia menekan tombol untuk mengeraskan volumenya, agar gue juga bisa
dengar.
Ada suara cewek yang gue pikir sekitar umur 20-an berbicara dengan nada
imut di seberang sana.
“Halo Rama… ini aku lagi, Chelsea…” Dari caranya berbicara, dapat gue
simpulkan bahwa cewek yang mengaku Chelsea ini adalah cewek manja tipe-tipe egois
yang semua permintaannya harus diturutin, posesif, suka warna-warna mencolok,
dan yang paling penting dari semua itu adalah: Dia akan melakukan apapun agar
bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkannya.
“Rama, apa kabar… kangen deh sama
kamu…” kata cewek yang namanya kayak club sepak bola Iggris itu.
Gue mulai mengerti. Mungkin ini
cewek yang diceritain Rama, yang suka neror dia malam-malam itu. Ini anak sampai
prustasi meminta gue jadi ceweknya segala. Padahal gue sama sekali gak ngerti
apa hubungannya dapet pacar sama berhenti diteror. Gue jadi penasaran dengan
proses berfikirnya si Rama, mengolah data yang terinput dari matanya sehingga
menghasilkan output berupa kesimpulan bahwa “cari pacar” adalah pilihan tepat
untuk menyelesaikan masalahnya.
“Rama, jawab dong… aku tau kamu di
situ…”
Rama masih tidak berniat untuk menjawab.
“Aku pengen dengar suara kamu… ayo
dong… ngomong…” cewek itu mulai mohon-mohon manja. Kali ini panjang nada yang
digunakan dalam pengucapan setiap akhir kalimat bertempo 1:3.
“Rama, kalau kamu masih gak jawab,
biar… SI OCHA YANG AKU TEROR!” Cewek itu tiba-tiba berteriak yang membuat
kuping gue berdengung.
Rama bergegas mengambil HP yang
sebelumnya dia letakannya di lantai.
“Iya, ada apa?” Rama mematikan Loudspeaker
HP-nya. Dia sedikit menjauh dari gue dan mulai mengobrol dengan cewek –yang
ternyata galak banget– tadi.
Gue mulai bingung sambil
terngiang-ngiang dengan kata-kata terakhir cewek barusan yang mengancam akan
meneror gue kalau Rama gak meladeninya. Hubungannya apa sama gue, dan kenapa
pake bawa-bawa gue? Salah apa gue, salah apa nyokap-bokap gue? Oke, gue akui
saat ini gue bener-bener takut.
Setelah beberapa menit berlalu… (gue
udah sempet baca komik, ngerjain tugas yang belum selesai, dan nonton film
horror di laptop). Akhirnya Rama selesai meladeni cewek aneh tadi. Gue
membetulkan posisi duduk dan mulai memasang wajah penuh tanya di hadapan Rama.
“Dia ngancam bakalan neror loe kalau
gue gak ngeladenin dia,” kata Rama.
“Jadi loe mau jadiin gue tumbal?”
gue mulai marah.
Rama mengkerutkan dahi.
“Loe pikir gue bego! Dengan gue mau jadi pacar loe, bukan artinya itu
malah bikin dia jadi makin nafsu buat neror gue?”
Rama diem.
Gue geleng-geleng kepala. Gue baru tau kalau anak kalem kayak dia
ternyata berotak licik yang hanya memikirkan kebahagiaan dan ketentramannya
saja tanpa memperdulikan nasib gue sebagai temannya.
Rama masih gak merespon. Gue makin nafsu.
“Kalau loe gak mau diterror lagi sama dia, loe tinggal ganti nomor, atau
matiin HP loe, atau kalau perlu loe buang itu HP!”
Rama nunduk gak bergeming.
“Kalau loe minta gue jadi cewek loe, itu artinya loe makin menjerumuskan
gue ke dalam lubang.” Gue mulai nunjuk-nunjuk dia. Jarang-jarang gue bisa
marah-marahin ini anak.
“Ini hidup loe. Jangan ajak gue masuk kedalam jurang yang sama dengan
loe.”
Itu adalah kata terakhir yang gue ucapkan sebelum akhirnya dia pulang. Malam
itu gue berusaha untuk gak mikirin apapun, dan tidur. Gue pikir akan sulit
melakukan hal itu dan gue pasti akan terus terngiang-ngiang dengan yang di
ucapkan cewek di telepon tadi. Tapi ternyata setelah merebahkan kepala gue di
bantal, gue langsung terbang ke alam mimpi dan dengan seketika melupakan
kejadian barusan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Hari ini Rama gak kuliah. Sesuatu yang sangat jarang ditemukan dalam
kehidupan gue. Rama, sebegitu cueknya dia, gak akan berani bolos satu mata
kuliahpun. Kalau sampai ketahuan sama bokapnya, bisa abis semua uang jajan dan
kartu kreditnya.
Tapi kali ini,
Rama bener-bener gak masuk kuliah setelah seharian gue menunggu dia nongol dari
lorong-lorong atau dari sela-sela tembok. Oh! Gue lupa dia bukan tikus.
Karena gue masih kesel sama dia
karena kejadian tadi malem, akhirnya niat gue untuk ngehubungin dia buat
nanyain “Kenapa gak masuk kuliah?” gue urungkan. Paling-paling dia kena pilek,
atau tumbuh jerawat besar di mukanya jadi dia gak pede dateng ke kampus. Besok
juga dia masuk lagi.
Dan ternyata keesokan harinya pun
Rama masih gak menunjukan batang hidungnya. Gue mulai merasa khawatir
jangan-jangan dia kena panu yang susah di hilangkan. Gue positive thinking… paling dia gak ada ongkos buat datang ke kampus.
Tapi akhirnya gue sadar kalau Rama itu bukan gue yang mahasiswa kere. Dia punya rekening gendut, pemberian
bokapnya yang kaya-raya. Kalaupun rekeningnya lagi disita sama bokapnya, misal,
dia masih bisa pake mobil buat cuma sekedar datang ke kampus. Kecuali tiba-tiba
bokapnya bangkrut dan kelilit hutang, terus Rama dan keluarganya sekarang
tinggal di rumah kardus. Kalau itu beneran kejadian, gue bersedia nanggung
ongkosnya tiap hari cuma sekedar untuk datang ke kampus. Bagaimanapun, masa
depan anak (yang sebenarnya cemerlang) itu lebih penting dibanding masa depan
gue yang masih remang-remang.
Alhasil, setelah sekian lama berharap dan menunggu, hari ini pun Rama gak
menyetorkan wajahnya ke gue.
Keesokan harinya setelah rasa prustrasi
mulai menyelimuti, gue kemana-mana sendirian gak ada yang nemenin, ke kantin
sendirian, makan sendirian, dan yang paling parah kalau tiba-tiba ada dosen rese yang suruh kerjain tugas, gak ada
tempat gue buat nyontek… tapi akhirnya itu anak nongol juga saat gue lagi makan
siang di kantin.
“Dari mana aja loe?” Tanya gue di tengah-tengah
mengunyah makanan gue.
Tampang ini anak keliatan lesu, ada
lingkaran hitam di kedua kelopak matanya. Biasa untuk sebagian cowok, tapi
sangat aneh untuk cowok seperti Rama mempunyai sebuah lingkaran mata. Ini anak,
yang kalau di telepon malem-malem bentak-bentak dulu baru bilang ‘Halo’
sekarang malah mempunyai sesuatu yang hanya bisa didapat kalau gak lagi kurang
darah, pasti begadang sampai larut malam. Tapi dari gaya berpakaian yang digunakannya,
jeans hitam lembut dan kemeja katun biru mahal, menunjukan bahwa dia masih
menjadi anak orang kaya. Berarti anggapan gue tentang kebangkrutan Bokapnya
tidak benar. Gue masih sedikit lega.
“Kenapa mata loe, dimarahin Nyokap
sampai gak bisa tidur?” Gue nyeletuk, ngasal.
Rama tidak menghiraukan candaan gue.
Dia langsung duduk gitu aja di bangku, di hadapan gue. Dari sorot matanya dapat
terlihat bahwa otaknya sedang bekerja keras. Gue bisa mendengar –walaupun dalam
pikiran gue sendiri– suara denyit putaran gir yang bersinggungan, hantaman-hantaman
besi-besi hindrolik, yang berasal dari kepala anak Keren ini.
“Ocha, gue mau ngomong serius sama
loe.” Rama duduk tepat di hadapan gue.
Gue masih sibuk mengunyah makanan
gue.
“Selama dua hari ini gue udah
berfikir…”
Gue kaget. Ternyata dua hari dia gak
masuk kuliah cuma gara-gara dia lagi mikir. Gue geleng-geleng kagum sama dia.
“Gue gak akan minta loe buat
pura-pura jadi pacar gue. Gue akan minta loe buat beneran jadi cewek gue.”
Sebelum sempet gue membuka mulut, dia udah mengangkat telapak tangan untuk
menyuruh gue diam.
“Loe akan jadi cewek yang spesial
dalam hidup gue. Loe akan gue bikin jadi cewek yang paling bahagia di dunia ini…
gue janji.” Rama menatap mata gue, kali ini dengan Rocket Louncer yang pelurunya akan mengikuti kemanapun target
–yang udah dikunci– pergi.
Kegilaannya mulai kambuh!
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Sekarang udah lewat dari jam tidur
gue, sekarang jam 3 pagi! Dan udah dari jam sebelas malam gue guling-guling di
kasur yang gak empuk-empuk banget ini, belum sedikitpun gue memejamkan mata.
Pikiran gue masih melayang ke
satu-satunya orang yang cara berfikirnya paling gak waras di dunia, Rama.
“Gue gak bisa ngebayangin loe jadi
cowok gue… loe tau, kan gue gak pernah pacaran. Gue gak berpengalaman,”
Gue teringat bantahan yang gue
sodorkan tadi siang saat Rama meminta gue untuk ‘beneran’ jadi ceweknya.
Tapi saat gue baru aja mau mengeluarkan
bantahan yang ke dua, tiba-tiba Rama menggenggam lembut kedua tangan gue, dan
menatap mata gue dengan sorotan memohon yang udah sempet bikin jantung gue
berteriak. “Aaaaaa…….!”
“Gue kasih bocoran kalau jadi
seorang pacar. Pacar itu, kalau makan apa-apa cowoknya yang bayarin, kalau
pergi belanja cowoknya yang beliin, kalau malam mingguan cowoknya yang
nyupirin, kalau berangkat kuliah cowoknya yang jemput, kalau…”
Semakin lama gue dengerin penjabaran
Rama tentang peran seorang pacar, semakin banyak lah iler gue netes-netes di
atas meja. Dengan seketika gue langsung bilang ‘ Iya’ sambil mengangguk mantap.
Kebahagiaan akhirnya datang di
kehidupan gue, itu adalah pemikiran yang muncul saat setelah gue di anterin
Rama pulang pake mobilnya sampai ke depan kostan. Biasanya cuma sampai gang
depan doang…. Alasannya? Gang ke kostan gue itu kecil, dia takut mobilnya
lecet. Rese? Emang!
Awalnya gue pikir itu sebuah
kebahagiaan, tapi gue teringat lagi dengan omongan Uztad mana… kalau kebahagiaan dunia adalah kebahagiaan semu! Baru
aja Rama tanjap gas pergi dari kostan gue, baru beberapa detik yang lalu gue
ada di dalam mobilnya, gue udah merasa menjadi orang yang paling bego di
seantero dunia ini. Seantero dunia kayaknya masih terlalu kecil, di seantero
alam semesta ini. Kalau beneran ada Alien, gue lebih bego dari mereka.
“Tiiiiddddaaaakkkk……….!” Gue kemakan
tipu muslihat anak berotak licik itu.
Pikiran gue kembali ke dalam kamar
tidur kecil yang nyaman ini. Berfikir dewasa! Cuma itu yang bisa gue lakukan
saat ini. Kita pake cara para Ekonom saat berfikir, yaitu dengan membandingkan
untung-rugi dari mengambil sebuah keputusan.
Gue kembali menghadap langit-langit kamar, mulai menimbang dan mencari
pembenaran dari keputusan yang udah terlanjur gue ambil. Akhirnya gue bisa menghasilkan
sebuah kesimpulan: Hidup gue gak akan susah lagi kayak dulu.
Tiap hari gue bisa minta dibeliin sarapan, makan siang dan makan malam.
Otomatis gue kenyang kalau sama Rama. Kalau akhir bulan dompet gue tipis, dan
ibu kost pembunuh berantai itu nagih, gue bisa minjem dulu sama dia. Kalau
perlu biar dia yang bayar uang kost gue. Dan tiap ulang tahun, setidaknya ada
seseorang yang ngasih kado ke gue. Biasanya, sih nggak. Budaya ortu gue kalau ada anaknya ulang tahun
bukannya dikasih ucapan “Selamat Ulang tahun, semoga panjang umur” atau
lain-lain, yang ada anak perempuan satu-satunya ini malah diceramahin panjang
lebar.
“Nak, ulang tahun itu bukan bertambahnya umur, tapi umur kita semakin
berkurang di dunia ini… kamu harusnya lebih banyak istigfar dan meminta ampun kepada Allah. Kami juga gak bisa
mendo’akan supaya umurmu panjang… karena Allah telah menentukan umur kita,
bahkan sebelum kita lahir. Allah tidak memanjangkan umur orang yang umurnya
panjang, dan tidak memperpendek umur orang, yang umurnya pendek….” Gue selalu
mangap dengerin ceramahan bonyok tiap
tahun yang belakangan baru gue sadar ternyata ada benarnya juga.
Konsekuensi dari keputusan yang gue ambil ini adalah gue harus rela dijauhin
sama kaum cewek yang sirik sama gue kalau jadian sama itu anak. Jumlahnya dari
sekitar 30-an kaum hawa di kelas dan hampir 2000-an cewek yang berasa kece di kampus, dari semua tingkatan…
Oke! Gue bener-bener cari mati. Tapi setelah gue pikir lagi, gue emang gak
punya temen cewek yang akrab sama gue. Satu-satunya temen gue cuma Rama. Yah… itu
masih bisa gue tolerir lah kalau sampai gue jadi musuh para bidadari kampus.
Kalau masalah terror, gue adalah cewek yang bisa “gak mikirin hal yang gak
penting” dalem hidup gue. Mindset
otak gue udah kayak professional. Gue rasa itu juga bisa dengan mudah gue
tolerir, hanya selama gue kuliah di sini doang. Baik! Ini adalah keputusan
tepat buat gue saat ini. Gue nelen ludah, batuk-batuk karena keselek. Gue
menghela nafas.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Keesokan paginya setelah baru saja
burung bercicit dan ayam berkokok ramai, tiba-tiba ibu kost gue dateng ke
kamar, ngasih tau kalau ada yang nyariin gue di depan. Dengan penasaran gue pun
melangkah keluar kamar, melewati gang sempit dari kamar-kamar kost lain dan
akhirnya sampai di halaman depan kostan. Ada seorang cewek lagi ngadep ke
jalan, (artinya membelakangi gue) di deket jalan masuk. Gue menghampirinya.
“Ada apa yah?” gue nanya sopan.
Dalam gerak perlahan, cewek itu
menoleh ke arah gue sambil menyibakkan rambut hitam panjangnya, dan menunjukan
sebuah wajah yang lumayan imut dan tirus.
Layaknya seseorang yang baru ketemu,
gue langsung dengan reflek melihat cewek yang ada di depan gue ini dengan
padangan Up to Down-Down to Up.
Skinny Jeans, sepatu tinggi, kaos ketat garis-garis, tas tangan kecil dan behel
yang terlihat saat dia membuka mulut, beda banget sama gue yang cuma pake kaos mickey mouse biru, celana pendek katun
dan sandal jepit.
“Ocha, gue mau nanya sesuatu sama
loe!” Kata cewek di hadapan gue itu.
Gue rada kaget
karena dia tau nama gue, “Loe kenal gue?”
“Iya lah! Orang kita se-SMA.” Cewek
itu mulai menunjukan sikap tidak sukanya ke gue.
“Tapi kayaknya gue gak pernah
ngeliat loe… bener kita se-SMA?” gue meyakinkan.
“Iya… Ih! Rese banget sih. Gue Chelsea,”
Bola mata gue putarkan ke sudut kiri
atas. Rasanya gue pernah dengar nama itu, tapi di mana yah…
“Iiih, Bodo…!” Dia mulai
loncat-loncat sambil ngamuk. “Loe beneran jadian sama Rama?”
“Iyah. Kok loe tau?”
“Tau lah. Gue punya banyak mata-mata
di sini. Loe tuh, yah… gak di SMA, gak di kuliahan, kenapa sih gak loe biarin
aja Rama sama cewek lain, jangan di makan sendiri dong…”
Akhirnya gue mulai inget siapa cewek
bernama Chelsea ini. “Oohh… iya gue inget… loe anak yang gak tau malu itu yah…
yang nembak Rama pake spiker sekolah waktu SMA?”
Rona wajahnya yang putih tiba-tiba
memerah, antara marah dan malu.
“Ngapain kesini Chel?” gue nanya watados.
“GUE MAU NYURUH LOE BUAT MENGHILANG
DARI KEHIDUPAN RAMA…!”
Ini cewek langsung ngomong
teriak-teriak, bikin gue jadi salah tingkah takut anak kost yang lain keganggu
gara-gara dia. Gue cuma bisa menaruh jari telunjuk di depan bibir untuk
menyuruhnya diam. Gue menoleh ke sebuah rumah besar di antara puluhan
kamar-kamar kecil berjejer di pinggirnya. Ibu kost juga lagi ngintip dari
jendela rumahnya.
“Iya, iya… nanti juga gue pergi dari kehidupan
Rama,” gue berusaha menenangkannya.
“KAPAN?” dia masih ngamuk.
“Kalau Rama mati.”
Chelsea makin ngamuk, “GUE MINTA SEKARANG!”
“Ya gak bisa… ntar yang bayarin
makan gue siapa?”
“Kok jadi yang bayarin makan, sih?
Rama cowok loe bukan, sih? Yaudah pokonya gue minta loe buat gak nongol lagi
depan Rama.” Dia mulai menatap gue dengan matanya yang tajam, “GUE BISA
NGEBUNUH LOE…!”
Gue gak tau apa yang harus gue
lakukan saat itu. Pertama kalinya dalam hidup gue ada yang terang-terangan labrak gue kayak gini. Saking paniknya
gue malah teringat dengan sebuh film action
Amrik yang kalau ada orang yang lagi ngomel-ngomel depan dia, langsung di tonjok
sampai gak sadar. Dan begonya malah itu yang gue lakukan pada Chelsea. Tangan gue
bergerak sendiri saking panik dan berisiknya cewek kecil di hadapan gue ini,
lalu tanpa perintah dari otak, tiba-tiba tinju gue ini udah mendarat tepat di
pipinya yang merona lembut.
Seluruh penghuni kostan termasuk
Sang Ibu kost langsung bergegas menghampiri gue, dengan Chelsea yang udah
terkapar di lantai. Para cowok-cowok langsung dengan sigap mengangkat Chelsea
dan membawanya ke dalam rumah Ibu kost dan melatakannya di soffa tamu. Chelsea
masih tak sadarkan diri. Gue panik di sampingnya.
“Ocha, gue liat loe barusan ngapain…”
Rama tiba-tiba dan sangat kebetulan udah ada di samping gue dengan muka yang
gak kalah cemas dari gue.
“Gimana dong… itu anak orang bisa
mati gak yah?” Gue masih panik.
Si Ibu kost masih dengan sigap
berusaha menyadarkan Chelsea dari pingsannya dengan minyak kayu putih yang di
dekatkan ke hidung. Tak berapa lama Chelsea pun tersadar. Tapi dia malah
terlihat linglung karena banyak sekali orang yang mengerubunginya.
Gue bersyukur dalem hati karena gak
ngebunuh anak orang di depan banyak saksi mata.
Tapi Chelsea sadar ada Rama di sana.
Dia langsung, dengan manjanya mengadukan apa yang menimpanya untuk menarik
simpati Rama.
“Rama, aku di tonjok sama Ocha…
sakit banget tau…”
Tapi karena adegan ini sedang di
tonton oleh cukup banyak pasang mata, akhirnya gue meminta kepada para pemirsa
yang penasaran dengan sinetron dadakan yang kami buat ini, untuk mohon undur
diri dan mencari tempat lebih enak agar masalah ini dapat di selesaikan.
Kami bertiga pergi ke halaman depan,
di mana insiden penonjokan yang gue lakukan tadi terjadi.
“Kenapa Ocha nonjok kamu?” Tanya
Rama.
Gue masih diam di tempat. Antara
syok dan males ngomong.
“Gak tau tuh… aku, kan cuma nanya
baik-baik aja, beneran kalian pacaran… terus tiba-tiba dia nonjok aku sampai
pingsan…” Chelsea langsung memeluk lengan besarnya Rama dan bergelayutan di
sana. Gue memberi respon jijik melihat sikapnya yang udah kayak cacing yang
menggeliat di tubuh Rama. Ekspresi wajah Rama juga gak kalah jijik, rupanya
dengan gue.
“Loe nonjok dia, Cha?” Rama beralih
ke gue.
“Iya.” Jawab gue.
“Tuh, kan… udah kamu jangan pacaran
lagi sama cewek kasar ini…” Timpal Chelsea memprovokasi.
“Kayaknya loe kurang kenceng
nonjoknya, nih tonjok lagi,” Kata Rama santai membuat Chelsea kaget dengan
respon yang tak terduga itu.
Chelsea langsung pasang wajah gak
percaya dan malu karena udah pingsan di tontonin banyak orang dan
ujung-ujungnya malah Rama gak merasa simpati sama sekali ke dia. Dia langsung
pergi meninggalkan gue dan Rama tanpa berkata sepatah kata pun. Muka bette-nya
membawa kami memulai pagi yang panjang ini.
“Oia, loe ngapain pagi-pagi ke
sini?” Gue hampir lupa dengan Rama.
“Aku jemput kamu ke sini.” Kata Rama
lembut.
Gue mangap. Rama yang biasa seenaknya
sama gue, suka ngomong songong, sekarang
malah ber-aku-kamu sama gue.
“Aku? Kamu?”
Wajah Rama yang tadinya santai kini
berubah menjadi serius.
“Aku udah janji akan ngebahagiain
kamu kalau kamu jadi pacar aku, Ocha…”
Gue merinding. Rama yang tadi
ketawa-ketawa sama gue kenapa malah jadi serius gini. Asli, gue jadi takut sama
ini anak. Tapi karena sebentar lagi jam masuk kuliah akan di mulai gue langsung
aja pergi ke kamar untuk bersiap-siap berangkat ke kampus. Rama memutuskan
untuk menunggu gue di teras depan.
Di kamar, setelah gue memasukan beberapa
buku kuliah yang akan dipelajari hari ini, dan berdandan ala kadarnya, gue akhirnya
keluar dari kamar dan mengunci pintu agar tidak ada kucing liar –yang suka
ngambilin makanan– masuk ke dalam kamar kost gue. Kalau maling, sih gue gak terlalu
peduli. Di dalam kamar gue cuma ada TV renyek, baju 10.000-an yang dibeli waktu
gue ke Senen sama buku-buku kumel tentang komputer yang kehujanan pas atap
kostan bocor. Bisa dibilang, maling apapun yang masuk kamar kost gue pasti dia
lagi sial.
Rama sedang duduk di kursi yang menganga panjang di pinggiran teras. Sebelum
Rama menyadari kedatangan gue, gue mendapatinya sedang menatap kosong ke bawah. Gue yakin emang gak ada yang menarik dari
jalanan yang diplester dengan semen yang udah retak-retak itu. Satu hal yang bisa
gue simpulkan, Rama lagi mikir.
“Yuk! Barangkat.” Gue
menghampirinya.
Rama bergeming, dan langsung
mendahului gue melewati pagar menuju mobil BMW hitam yang sudah terparkir di
pinggir jalan. Rama membukakan pintunya buat gue. Tapi gue gak langsung masuk
dan malah ngeliatin dia dengan seribu tanda tanya di muka gue.
“Mmmm… Rama, loe gak usah maksain
diri. Jadi diri loe sendiri aja.” Gue nyikut dadanya. Cuma itu yang nyampe!
Kalau gue lebih tinggi lagi, udah gue toyor
kepalanya.
“Ini diri aku yang sebenarnya.”
Jawab Rama dengan, lagi-lagi, tersenyum.
Akhirnya gue masuk ke dalam mobil
itu dengan terus menatap aneh ke wajahnya. Dia menutup pintunya pelan dan
memutari setengah mobil, untuk masuk lewat pintu satunya. Dia duduk di belakang
setir, tepat di sebelah gue.
“Rama, Chelsea yang suka neror loe,
kan udah gue tonjok… itu artinya kita gak usah pura-pura pacaran lagi, kan?”
Tanpa ragu gue bertanya pada Rama.
Rama diam, sebelum akhirnya
menjawab, “Ini bukan karena Chelsea… lagian aku udah bilang kalau kita ini
bukan pura-pura.” Jawabnya tanpa menoleh ke arah gue.
Gue kembali terdiam. Antara ragu
ingin bertanya atau dibiarkan saja. Mobil masih melaju dengan kecepatan normal.
Rama masih sibuk dengan pandangannya yang mengarah kedepan. Akhirnya gue
memutuskan untuk bertanya.
“Serius! Ini di luar pembahasan
kita. Loe kenapa jadi beda gitu, sih ngomongnya sama gue?”
Rama kembali terdiam. Lalu akhirnya
dia menjawab, “Aku udah bilang, ini aku yang sebenarnya…”
Gue gak tau mau ngomong apa lagi.
Selesai. Pembahasan kita tentang Chelsea, pembahasan kita tentang Rama yang
tiba-tiba jadi aneh selesai sampai di situ, menggantungkan gue yang malah jadi
makin bingung.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar