04
|
Pagi ini mata gue terbuka dengan susah-payah.
Hari ini adalah hari minggu, itu artinya gue gak perlu pergi ke kampus buat
kuliah, dan itu artinya pula gue gak perlu ketemu sama Rama. Harusnya gue
bahagia. Tapi kali ini gue biasa aja. Ya! Biasa aja.
Diam sambil menatap langit-langit
kamar habis bangun tidur adalah rutinitas baru gue semenjak resmi ditembak
Rama. Jangka waktu yang gue habiskan untuk menatap langit-langit ini berbanding
lurus dengan sikap anehnya Rama. Makin aneh dan gak masuk akal sikapnya, makin
lama pula gue memandangi loteng yang catnya udah mulai pudar.
Kali ini hampir setengah jam mata gue tertuju pada indahnya asbes bercat
putih yang selalu melindungi gue dari panas dan hujan itu. Pikiran gue saat ini
sangat gak karuan. Bahkan gue juga gak tau harus ngapain untuk menghabiskan hari
minggu yang cerah ini. Gue tau hari ini cerah walaupun gue belum beranjak dari
tempat tidur, karena cahaya matahari dengan tajamnya udah menembus bolongan gordeng
kamar yang emang lumayan besar menggantung menutup jendela. Rama sempet mau
nawarin kartu kreditnya buat mengganti gordeng gue menjadi yang lebih layak,
tapi gue nolak karena dengan gordeng ini gue bisa tau cuaca hari ini tanpa
perlu beranjak dari tempat tidur atau bersusah payah bergerak nyalain TV buat
nonton ramalan cuaca. Simple dan efektif…. Tuh, kan! ngomongin Rama, gue jadi
berasa aneh lagi.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
“Andin. Gue bingung banget sama
sikapnya Rama yang kemaren malem dateng ke kostan gue cuma buat bilang kalau
dia kangen sama gue. Aneh, gak, sih?”
Setelah bingung mau ngapain di hari
minggu ini, akhirnya gue malah janjian sama Andin di sebuah Resto murah di
sekitaran kampus. Saat ini gue rasa cuma Andin yang bisa ngerti gue.
“Gak aneh, Ocha… wajar kok, itu
artinya Rama emang beneran kangen berat sama kamu sampai malam-malam dia
bela-belain dateng ke kostan.” Andin menatap gue bak seorang ibu yang menatap
anaknya yang rewel.
“Tau, kan Rama gimana? Tau, kan
gimana gilanya dia?”
“Iya, aku tau…”
Andin mengaku kalau dia tau betapa
gilanya Rama, di sini! Dia tidak bohong. Gue yang nyeritain semua kegilaan, aib
dan ke-abnormalan sikapnya sebelum
dan setelah gue jadian sama dia. Saat ini, dihitung sama nyokap, bokap dan adik
perempuan Rama, total udah lima orang yang tau seberapa luar biasa gilanya
kelakuan anak yang satu ini.
“Kamu coba tanya aja sama dia kenapa
sampai harus kayak gitu segala,” Andin mendekatkan kepalanya ke arah gue.
“Kalian cuma kurang komunikasi, selama ini kamu cuma ngejauhin dia aja, kan?”
“Ogah! Nanya apaan?”
“Ya nanya… kenapa sikap dia jadi
berubah…”
“Oh… harus?”
Andin mengangguk mantap.
Gue mulai mempertimbangkan saran
dari Andin. Dia ada benernya juga. Gue selama ini emang cuma berusaha buat
menghindar dari Rama biar gue gak terus kepikiran sama perubahan… sorry, metamorphosis-nya itu. Dan mengingat
Andin adalah tipe cewek dewasa dan bijaksana, gue akan mencoba saran yang dia
berikan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya,
mata gue terbuka dengan sangat entengnya di pagi hari yang cerah ini. Gue gak
ada waktu untuk menatap langit-langit kamar seperti yang gue lakukan di
hari-hari sebelumnya. Gue langsung buru-buru pergi ke kamar mandi, membersihkan
diri dari segala debu, kotoran, daki dan iler yang menempel di tubuh gue. Gue
mengambil shampoo dan membersihkan kepala agar bisa berfikir lebih jernih. Gak
ada hubungan erat antara rambut bersih sama pikiran jernih, tapi apa salahnya
bersugesti positif.
Oke! Gue udah bersih, segar dan harum. Kalau ada produser iklan sabun
yang lihat gue sekarang, gue pasti langsung ditawarin jadi bintang iklan
prodaknya tanpa kesting langsung
syuting. Siip! Pakaian juga udah oke. Jeans item pudar kesayangan gue yang
selalu dipake dengan High Rotation –kalau
bahasa radionya, artinya dengan pemakaian yang sering. Gue juga gak lupa dengan
kaos mickey mouse dan jaket jeans
yang melekat di tubuh gue, senada dengan warna biru kaosnya. Dengan semangat
menggebu-gebu akan menyongsong hari yang baru, gue berlenggok keluar kamar
dengan senyum indah ala Mahasiswa tak berdompet. (Mau punya dompet juga isinya
paling KTP sama Kartu Mahasiswa doang.)
Singkat cerita, akhirnya gue sampai
juga di kampus. Di kampus ternyata masih sepi. Cuma ada beberapa anak yang
nongkrong dekat sekre UKM, itu juga
kayaknya yang semalem nginep, dan beberapa OB yang lagi bersih-bersihin sampah
daun di jalan. Ternyata gue terlalu bersemangat pagi ini. Akhirnya gue putuskan
untuk pergi ke belakang gedung Fakultas. Di sana ada kursi-kursi buat tempat
anak-anak nongkrong kalau lagi nungguin mata kuliah selanjutnya di mulai, atau
kalau yang mau pacaran tapi gak mau di ganggu orang, di sana adalah tempat yang
tepat.
Suasana sejuk, banyak pohon tinggi mendukung para muda-mudi yang stress
dengan pelajaran kuliah untuk sekedar melampiaskan hasrat cintanya. Tempatnya
yang terpencil jauh dari orang berlalu-lalang, menjadikan alasan utama mengapa
tempat tersebut dijadikan sebagai tempat maksiatnya anak-anak muda. Rama malah
senang banget nongkrong di tempat itu. Katanya udaranya sejuk. Walaupun dia gak
macem-macem, tapi orang yang mikir macem-macem. Parahnya, gue juga ikut
ketempuhan… soalnya sama siapa lagi dia nongkrong di situ kalau bukan sama gue.
Gue memilih salah satu bangku yang
berada tepat dibawah pohon yang tumbuh seperti cemara, namun kecil, untuk lebih
banyak menghirup oksigen yang dikeluarkan dan untuk meneduhkan diri dari
sengatan matahari yang mulai meninggi. Gak bisa gue pungkiri, udara di tempat
ini bener-bener segar. Apalagi saat loe hirup pada jam setengah tujuh pagi
kayak gini.
Kalau tempat ini sepi dan gak ada orang seperti sekarang, rasanya udah
kayak taman indah yang sering muncul di film-film Korea yang digunakan untuk
syuting adegan-adegan romantis. Gue bahkan bisa merasakan atmosfer yang berbeda
semenjak masuk ke taman ini. Dalam senyum dapat gue bayangkan di depan gue ada Yun jihoo yang menggenggam tangan Geum jandi, memintanya untuk tetap di
sini, memililihnya menjadi orang yang bisa melindunginya, bukan Goo junpyo yang berambut kriting itu. Geum jandi tidak bisa mengatakan
apa-apa, Yun jihoo membelai rambutnya
lembut dan perlahan mengecup bibir wanita berambut sebahu itu dengan segala
kepedihan yang dia rasakan karena akan kehilangan orang yang paling
dicintainya. Aaahhh….! Gue terbawa suasana, sampai-sampai dalam bayangan gue
muncul backsound lagu Boys Before Flower,
Drama Korea yang emang paling romantis yang pernah gue tonton . Semakin
kencang backsound drama itu,
seakan-akan muncul dari saku celana jeans yang sedang gue pake. Dan ternyata
benar. Itu suara HP gue yang berbunyi. Tulisan “Cowok aneh” menari-nari di
layarnya.
“Halo?” Kata gue pada Rama.
“Kamu di mana? Aku udah di depan
kostan.”
Mampus! Gue lupa kalau biasanya tiap
pagi Rama selalu jemput gue.
“Udah di kampus. Ke sini aja.” Kata
gue.
Rama gak merespon dan langsung aja
menutup telepon. Bibir gue monyong karena kesel.
Rama sebentar lagi ke sini, tapi kenapa gue malah panik gini. Gue gak tau
harus dengan wajah seperti apa untuk menyapanya, gue gak tau harus dengan nada
suara seperti apa saat berbicara padanya. Sumpah, gue parno.
Lima menit waktu berlalu, gak ada
tanda-tanda Rama udah dateng. Gue masih menunggu dengan sabar di singgasana
indah gue, di bawah pohon. Beberapa menit berlalu, Rama masih belum nongol.
Setelah gue mikir, Rama ternyata bukan jin yang bisa dengan sekali “Tring…”
langsung pindah tempat.
Dua puluh menit berlalu, Rama masih belum keliatan batang hidungnya. Gue
mulai menatap ke langit, takut-takut kalau Rama dateng dengan parasutnya dari
atas langit pake helikopter. Gue geleng-geleng kepala, pikiran gue mulai gak
waras.
Empat puluh lima menit berlalu! Lagi-lagi gak ada kabar kalau dia udah
nyampe kampus. Gue mangambil HP dan mulai merangkai huruf untuk menyusun kata,
“Dmn?” yang tertulis di layar. Gue kirim SMS itu. Beberapa detik kemudian gue
dapet laporan kalau SMS telah terkirim ke nomor Rama. Gue menghela nafas. Hari
ini jam di Bandung menjadi bertambah lambat. Kemaren dua jam serasa kayak dua
menit, sekarang dua menit serasa kayak dua tahun!
Gue gak tau udah berapa lama gue duduk di sini, yang jelas punggung gue
udah pegel dan wajah emang udah penuh peluh yang tak henti-hentinya mengalir,
tapi gak ada sedikit pun tanda-tanda Rama yang datang ke tempat itu, apa lagi membalas
SMS gue.
Hentah sudah berapa liter keringat yang mengalir turun dari dahi gue yang
menitik ke rerumputan di yang ada di bawah gue, yang jelas rumput yang ada
disekitar itu udah layu tak bernyawa. Gue menengadahkan muka gue ke langit dan
terlihat matahari menyoroti tubuh mungil gue ini dengan panas tak terampunkan.
Gue melirik jam tangan yang melingkar di lengan kiri gue. Jam 9 pagi! Jam 9
pagi dan itu artinya total dua jam setengah gue nungguin si Rama di sini. Gue
lirik HP gue, gak ada SMS dari dia. Gue menyapu seluruh taman dengan mata gue,
dan gue tidak mendapati ada sesosok pria beraura keren di sekitar sini. “Sejak
kapan tempat ini jadi rame?” gue nanya dalem hati. Sial! Sia-sia gue nungguin
dia dateng berharap ingin memperbaiki hubungan yang tidak sehat ini. Gue lelah!
Mending gue ke kantin aja, mengingat perut gue belum diisi dari subuh tadi.
Gue sampai di kantin kampus. Kantin
penuh sesak dengan orang yang juga sedang mengisi perutnya. Tapi saat gue
sedang berjalan menuju meja yang biasa ditempatin kalau mau makan, ternyata gue
menemukan orang yang udah bikin gue kejemur matahari dari jam setengah tujuh
pagi itu. Bagus! Gara-gara dia Vitamin D dalam tubuh gue pasti udah ter-katalisasi dengan sempurna karena sinar
matahari pagi dengan setia menyoroti tubuh gue ini. Kalau udah sampe kostan,
gue mau langsung ukur tinggi badan, kali aja gua nambah beberapa senti hari
ini.
Gue tendang kursi kosong yang ada di
depan Rama, gue gembrak meja dengan sikut gue, dan gue monyongin mulut gue
semonyong-monyongnya. Rama melihat tingkah gue ini dengan mulut terbuka dan
sendok yang setengah jalan lagi akan sampai pada mulutnya.
“Kenapa?” Rama nanya.
“Jangan ajak ngomong! Gue lagi kesel
sama cowok gue.” Gue menoleh ke arah lain. Gue yakin Rama lagi bingung
sekarang.
Gue masih menunggu jawaban dari Rama,
tapi gue masih gak dengar apa-apa. Hanya kebisingan kantin yang nyampe ke saraf
pendengaran gue. Prustrasi karena gak ada jawaban, akhirnya gue menoleh pada
Rama. Dan gue mendapatinya sedang memandang gue sekarang… oh! Mungkin sejak
tadi.
“Cowok kamu yang mana?” Rama
akhirnya mengeluarkan suaranya.
Gue udah kenal Rama lebih dari 2
tahun. Gue gila-gilaan sama dia, gue nangis-nangisan –kalau lagi adu siapa yang
paling cepet ngabisin mie setan level 10– sama dia. Gue tau betul bagaimana dia
dan perasaan yang sedang dia rasakan saat ini, dan itu nyampe ke gue. Gue
menangkap perasaan “takut” yang terpancar dari sorot matanya saat memandang
gue. Gue jadi ngerasa bersalah, gak tau kenapa.
“Loe kenal cowok yang namanya
Ramadhan? Dia cowok gue dari setengah bulan yang lalu.” Gue gak tau kenapa,
tapi yang pasti gue harus memperjelas maksud “Cowok gue” yang sempet gue
singgung barusan.
Rama gak bergeming.
“Gue aneh sama cowok gue itu, dia
memperlakukan gue benar-benar udah kayak ceweknya. Padahal gue tau kalau itu
cuma sandiwara biar dia gak di terror terus sama cewek yang suka nelepon dia
malem-malem.”
Rama mengerutkan dahi. Dia
garuk-garuk kepala, tapi bibirnya tetap terkatup rapat.
“Rama, loe, kan temen gue… gue harus
gimana?”
Dengan memandang Rama sebagai temen
gue kayak dulu, hentah kenapa gue merasa lebih leluasa mengeluarkan unek-unek
yang ada di hati gue daripada gue berbicara ke Rama sebagai “Cewek” nya.
Sepertinya Rama mulai mengerti
dengan maksud pembicaraan gue ini. Raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi
santai. Gue teringat sosok Rama SMA yang ngetawain gue waktu rambut gue nempel
di kain panel pas bikin kerajinan kriya. Gue merindukan sorot matanya itu.
Hentah berapa lama perasaan ini hilang dari hidup gue.
“Dia udah gak di terror lagi sama
cewek aneh itu… loe tenang aja.” Jawab Rama santai. Dia kembali ke dalam peran
menjadi teman gue.
Melihat respon Rama yang gue
harapkan, akhirnya sadar atau ngak, gue dengan sendirinya bercurhat-curhat ria
dengan temen sekaligus pacar yang menjadi tema curhat kita hari ini.
“Terus kenapa dia gak mutusin gue
aja dan jadi temen gue lagi kayak dulu?” Kata gue sambil main-mainin kotak tisu
di depan gue.
“Tanyanya ke dia… jangan ke gue!”
Rama kembali dengan gayanya yang jutek.
Rama yang dulu telah kembali.
“Ngak perlu! Gue tau kenapa. Dia
dikira homo, mungkin sama adeknya karena gak pernah bawa cewek ke rumahnya,
selain gue. Jadi dia nutupin rahasia terbesarnya itu dengan gue yang dijadiin
kedok.” Gue tertawa.
Rama noyor kepala gue. Dia kesel mendengar candaan kelewatan gue. Tapi
itu udah cukup membuat perasaan gue menjadi tenang.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Jam setengah dua, mata kuliah
pertama sudah selesai. Mata kuliah kedua menunggu untuk dimulai. Gue abis
shalat zuhur bareng Rama di masjid
kampus, saat tiba-tiba gue merasa perut gue sakit luar biasa. Gue masih di
depan masjid, mau make sepatu dan tiba-tiba aja asam lambung gue naik mengenai
luka yang sudah lama tertoreh di lambung gue ini. Perih, neg, gue keringat
dingin. Gue cuma bisa merintih tanpa suara mencengkram perut bagian kiri.
“Kenapa?” Suara panik itu terasa
jauh dari gue, tapi gue tau Rama berada tepat di sebelah gue.
“Magh kamu kambuh?” Rama memegang
lembut kedua pundak gue, menarik tegak tubuh gue, dan menemukan muka gue yang
putih pucat.
Rama tanpa mengatakan apa-apa dan
tanpa berfikir lama-lama, langsung mengendong gue yang tak berdaya di kedua
lengan besarnya, membopong gue menyusuri jalanan kampus, diliatin banyak orang,
membawa gue ke parkiran dan meletakan gue di dalam mobilnya. Gue gak bisa
protes apa lagi bertanya, “Ini gue mau dibawa kemana?” atau “Loe cuma tinggal beliin gue promagh dan semuanya beres…” Asli gue
mau ngomong kayak gitu saat ini. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang sangat
mengkhawatirkan gue, dia pasti gak akan dengerin komplen gue itu walaupun gue
memintanya dengan lirih dan parau.
Rama mengendarai mobilnya dengan
kecepatan diatas rata-rata orang nyetir mobil. Dia bekali-kali melirik ke gue
yang terkulai lemah menahan perih di perut gue ini. Gue gak meringis.
Sedikitpun gue gak meringis. Gue yakin kalau gue meringis, Rama pasti akan
menekan lebih dalam pedal gasnya. Yang ada gue akan tamat sampai di sini.
Gue punya penyakit magh yang emang udah cukup kronis dari semenjak SMA.
Rama tau itu. Rama juga pernah menemukan gue kesakitan –yang ini sampai
meringis-ringis– karena gak tahan dengan kambuhnya magh gue ini. Tapi dengan
santai dia cuma beliin gue obat magh. Selesai. Kali ini gue rasa sikapnya
terlalu berlebihan.
Sampai di rumah sakit… Yup! Di rumah
sakit. Bukan klinik atau puskesmas. Rumah sakit! Gue langsung di daftarin jadi
pasien kelas SATU. (Kelas satu, bro… dasar anak orang kaya, tidak tau cara
mempergunakan uang dengan baik.) Gue langsung dipasangin infus, diperiksa sama
dokter yang ramah banget, yang gak akan di temukan pada pasien-pasien kelas
TIGA. Terakhir gue dikasih bubur yang rasanya udah kayak bubur dari hotel
bintang limanya Singapur. Indonesia kalah….
Saat sedang menikmati bubur bintang
lima itu, Rama datang dan duduk di kursi kosong sebelah ranjang empuk gue ini.
“Kamu udah gak papa?” Tanyanya
lembut.
“Gak papa. Hehehe…” Gue cengengesan.
Rama menghela nafasnya. Dia
tersenyum sama gue.
“Tadi kata dokter, magh kamu itu
udah parah. Sekarang kamu gak boleh telat makan lagi, makanan yang kamu makan
juga harus memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna.” Rama mulai nasehatin gue udah
kayak bokap yang anaknya sakit karena susah makan.
“Iya Boss….” Gue lagi gak mau
ngebantah anak ini, yang dia bilang ada benarnya juga kalau mulai saat ini gue
gak boleh telat makan lagi.
Saat Rama dan gue sedang
tatap-tatapan tiba-tiba pintu kamar Rumah Sakit kelas Melati itu terbuka.
“Kak Ocha…” Sesosok cewek manis berambut panjang yang di kuncir gaya
buntut kuda, dengan baju anak SMA muncul dari balik pintu dan berlari sambil
loncat-loncatan menghampiri gue dan Rama.
“Ngapain ke sini?” Rama nanya ketus.
Cewek manis itu tidak menghiraukan orang gila, jutek yang ada lagi duduk
di sebelah gue. Dia tersenyum sambil menenteng rangkaian bunga dan kotak kue
besar di kedua tangan putihnya. Senyum ini sama persis dengan cowok yang lagi
melototin anak SMA ini.
“Rima… kangen….” Gue langsung
membuka lebar-lebar kedua tangan gue. Cewek bernama Rima itu langsung memeluk
gue dengan erat.
“Rima, Kak Ocha masih sakit.” Rama
protes.
“Kak Ocha, tadi kata Kak Rama, Kakak
masuk rumah sakit. Aku pulang sekolah langsung ke sini loh… terus bawain ini
buat Kakak,” Rima mengangkat dengan tinggi kotak kue yang digenggamnya
“Rima, Kak Ocha gak boleh makan yang
manis-manis.” Rama protes lagi.
“Apasih Kakak… tau gak, tadi mamah
sempet marah loh pas tau kalau Kakak bolos kuliah. Tapi pas aku bilang Kakak
bolos karena mau anterin Kak Ocha yang lagi sakit, mamah jadi gak marah lagi.
Aku belain Kakak, tau!” Rima mulai jengkel dengan Kakak cowok satu-satunya itu.
Gue cuma bisa tertawa melihat Rama
mati kutu di depan adiknya sendiri. Ini nih yang selalu bikin gue minder karena
ngeliat Rama yang punya adik lucu dan ceria kayak Rima. Gue juga pengen punya
adik yang lucu yang bisa gue manja-manja, bisa gue gangguin dan gue
jutek-jutekin. Hihihi…. Karena itu lah gue udah anggap Rima sebagai adik gue
sendiri jadi gue sayang banget sama anak yang cuma beda 2 tahun sama gue ini,
kalau Rama… gak tau deh, dia lebih pantas gue jadiin sebagi kakek gue yang
paling nyebelin mungkin. Abisnya dia bawel banget jadi cowok, Rima aja mengakui
itu.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Malam ini gue di suruh nginep dulu
di rumah sakit. Padahal gue adalah tipe orang yang paling gak bisa tidur kalau
bukan di kasur gue sendiri. Waktu awal-awal kuliah, pas malem pertama gue di
kostan, gue cuma bisa guling-guling sampai pagi dan itu berlangsung selama
seminggu. Hal positifnya gue bisa shalat malam tiap hari. Negatifnya mata gue
udah bisa ngalahin mata panda. Kalau ada produser film horror yang lihat gue
saat itu, gue pasti langsung dapet peran jadi kuntilanak karena penata riasnya
gak perlu capek-capek make up gue biar mirip kayak setan yang selalu pake
daster itu.
Sekarang baru jam sebelas malam.
Rumah sakit ini terasa begitu sunyi. Gue melirik HP gue yang tergeletak di
sebelah bantal. Saat ini cuma benda itu yang jadi temen gue dikala sepi seperti
ini. terlintas di pikiran gue buat ngehubungin nyokap atau bokap di rumah, tapi
gue takut mereka jadi khawatir denger gue masuk rumah sakit. Akhirnya gue
urungkan niat gue buat nelepon mereka. Gue mulai membuka phonebook HP gue dan melihat setiap daftar nama orang-orang yang
ada di dalamnya. Ada nama Andin yang pertama gue temui. Gue menghentikan jari
gue pada nama itu, tapi setelah gue pikir lagi, tidak bijak mengganggu orang “bijak”
malam-malam. Jari gue terus menggeser layarnya, gue sempet berhenti di sebuah
nama yang gue kenal kayak Putri, temen SMA gue dulu, Reno temen kecil gue yang
juga tetangga rumah gue, Rama… Rama! Nama itu seakan menggetarkan hati gue. Perut
sebelah kiri, letak di mana hati dan lambung saling berdempetan terasa perih
kembali. Mungkinkan magh ini kambuh lagi dengan begitu cepat? Atau
jangan-jangan gue mulai kena gejala liver.
Soalnya, perut bagian situ selalu terasa sakit, jika dan hanya jika gue menyebut nama orang aneh, gila, tapi masih
tetep aja keren itu.
Tak tau siapa yang memerintah, yang
jelas ibu jari ini langsung menekan tulisan “Panggil” yang tertera pada layar,
tepat saat nama Rama ditandakan di sana.
Tuuuuttt….tuuttt…
Tak ada respon. Setelah sadar kalau yang gue lakukan ini sia-sia akhirnya
gue memutuskan untuk me-cancle
panggilan gue. Kembali gue letakan HP itu di sebelah bantal dan mulai berusaha
untuk memejamkan mata.
“Eunhyuk
Oppa… selamat tidur.” Gue mengucapkan selamat tidur pada idola K-Pop gue itu.
Baru aja mata gue terpejam beberapa
detik, tiba-tiba HP gue berdering memecahkan kesunyian malam. Rama nelepon gue
balik. Belum tidur rupanya itu anak.
“Halo?” Gue gak bisa menyembunyikan
senyum di wajah gue ini.
“Kamu belum tidur? Gak bisa tidur?”
Sahut Rama.
Gue bangun dari kasur dan duduk di
atasnya.
“Iya, gak bisa tidur nih… bette gue,”
“Meremin aja matanya, lama-lama juga
tidur.”
“Udah… tetep aja gak bisa tidur…”
Akhirnya Rama meladeni ocehan tengah
malem gue dengan sabar. Mulai dari ceritain betapa baiknya suster-suster yang
ngerawat gue, dokter yang selalu memeriksa apakah kantong infusan gue udah
habis atau belum, sampai gue ceritain tentang momen dimana gue bisa menyaksikan
tupai yang lagi berantem sama tupai lain di dahan pohon luar jendela kamar gue.
Kali ini gue bahkan bisa dengan lepas ngomong sama dia bukan sebagai teman,
tapi sebagai pacar.
“Rama, gue udah ngantuk…” Suara gue
udah semakin parau. Tubuh gue pun sudah berbaring pada posisi yang tepat. Nyawa
gue lagi di antara dunia nyata dan dunia mimpi, “Rama… makasih yah,” gue
menutup mat ague dengan sisa-sisa kesadaran. “Gue sayang sama loe….”
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Gue gak inget lagi tadi malem gue
ngomong apa terakhir kali sama Rama, yang jelas pas gue bangun ternyata udah
pagi. Burung di luar jendela udah berkicau, dan sinar matahari terpancar dari
sela-sela ventilasi kamar pasien yang berada di lantai dua itu. Gue meregangkan
tubuh, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tersenyum dengan bahagia. Hari
ini gue balik ke kostan….
KAMAR
RAMA , TENGAH MALAM, FLASHBACK.
“Rama,
gue udah ngantuk…”
“Yaudah, kamu tidur…”
“Rama…makasih yah,” Rama menunggu,
“Gue sayang sama loe,”
Keheningan menghampiri kamar besar
bernuansa abu-abu tersebut. Rama mematung di depan meja belajarnya memandangi
foto dirinya bersama Ocha, di dalam bingkai manis berwarna cream.
“Gue
juga sayang Loe, Cha…” Bibirnya bergetar saat mengatakan itu. “Bahkan sebelum
gue sendiri menyadarinya.”
Tak ada respon di seberang sana.
“Maaf, harus pake cara ini biar loe bisa nerima perasaan gue yang sebenarnya…
sorry gue emang pengecut.” Dia menghela nafas, “Satu yang harus loe tau, Cha,
perasaan gue ke loe itu bener!”
Dia menutup HP-nya.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar