03
|
Hari ini sudah hari keberapa… gue gak ngitung lagi, pokoknya semenjak
kejadian pemukulan gue terhadap Chelsea, cewek yang suka neror Rama malem-malem,
dan semenjak Rama resmi jadi Cowok ‘beneran’ gue, hidup gue udah gak beratura
lagi.
Seperti cowok pada umumnya, setiap hari dia ke kostan gue buat ngejemput sebelum
berangkat kuliah. Saat gue masuk pun itu pintunya dibukain sama dia. Gue risau?
Jelas lah!
Rama yang gue kenal adalah seorang cowok yang gak punya sopan-santun sama
sekali dengan cewek. Gak ada lembut-lembutnya deh sama gue. Dengan sikap dia
yang berubah drastis sama gue, gimana gue jadi gak stress coba!
Rama jemput gue. Saat di dalam mobil, perasaan aneh yang udah
menggerogoti tubuh dan jiwa gue dari beberapa hari lalu mulai muncul kembali. Gue
udah sangat sering berada pada adegan seperti ini, duduk bersebalahan dengan
jarak yang cukup dekat dengan Rama. Tapi kali ini, untuk yang pertama bagi gue,
rasa canggung itu tiba-tiba datang mendekap dada, sehingga membuatnya menjadi
sesak. Nafas gue bahkan gak beraturan karenanya. Gue pikir Asma gue kambuh,
tapi karena ternyata gue gak ada keturunan Asma, berarti ini gara-gara gue lagi
gugup.
Gue menoleh ke Rama. Rama jelas-jelas ada di sebelah gue, tapi kenapa gue
ngerasa bukan dia yang ada di sini. Bukan Rama yang gue kenal yang tepat berada
di dekat gue. Dia terasa begitu jauh dari pandangan gue… dia terasa begitu tak
terjangkau dari hati gue… lagi-lagi gue merana karenanya. Akhirnya gue cuma
bisa bengong liatin jalanan di samping gue. Beberapa menit berlalu… gue nguap.
Beberapa menit berlalu… gue ketiduran di dalam mobil.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Sentuhan lembut yang
mengoyang-goyang bahu, membangunkan gue dari tidur. Gue membuka mata dan
mendapati Rama sangat dekat dengan wajah gue. Gue kaget dan dengan reflek
menjauh dari mata besarnya yang memandangi gue. Tapi gue baru inget kalau
ternyata ini lagi di dalam mobil dan ruang gerak sangat sedikit di sini,
akhirnya usaha terakhir gue adalah dengan memalingkan wajah ke samping. Gila…!
Jantung hampir copot liat wajah dia sedekat ini sama gue…. Rama kembali pada
posisi duduknya.
“Udah sampai.” Katanya.
Gue mengusap mata dan melihat
sekeliling dari dalam jendela mobil. Ya! Gue udah ada di parkiran kampus. Rama
keluar dari mobilnya dan berjalan memutari mobilnya, lagi. Tapi sebelum dia
sempat sampai ke depan pintu mobil, gue langsung buka, dengan tangan gue sendiri
pintu yang ada di samping. Rama sempet kaget karena pintunya sudah terdorong
sebelum dia tarik. Gue keluar dari mobilnya dan merapikan baju serta rambut gue
yang kusut gara-gara gaya tidur gue barusan.
Rama berjalan di sebelah gue seperti
seorang bodyguard. Kakinya yang panjang berjalan agak perlahan menyamakan
kecepatan langkahnya dengan kaki gue yang emang lebih pendek dari dia.
Lagi-lagi ini bukan Rama yang selama ini gue kenal. Rama yang gue kenal adalah
Rama yang selalu jalan di depan gue dan sering berteriak “Cepetan!” dengan nada
kesal, ke gue yang dengan susah payah ngejar dia dari belakang.
“Belum sarapan, kan?” Tanya Rama.
Gue menggeleng.
Kita sampai di kantin. Rama memilih
meja yang dekat dengan pintu masuk. Dia meminta ijin ke gue buat memesan
makanan. Ya, gue ijinin! Gue menunggu di meja tersebut dengan perasaan yang
masih sangat-sangat-sangat aneh dengan sikap dia. Tapi karena perut gue lapar,
akhirnya mengutamakan perut adalah hal yang paling penting. Mikirin Rama, itu
bisa ditempatkan pada nomor ke lima atau
ke enam.
Rama kembali dan duduk di kursi
kosong di hadapan gue.
“Loe mesenin gue apa?” Tanya gue.
“Nasi kuning pake bala-bala,
sambelnya dikit.” Jawabnya.
Anak pinter. Dia inget gue selalu
mesen itu kalau sarapan. Bukan apa-apa, karena lebih murah aja.
Tak lama pesanan kami datang. Kami berdua mulai melahap makanan tersebut
dalam diam. Kediaman ini sama dengan saat di mobil tadi. Diam yang aneh,
canggung dan bikin gue malah jadi tegang. Makan aja jadi gak konsen karenanya.
Komposisi makanan yang masuk kedalam mulut gue jadi berkurang karena ketidak
sanggupan gue dalam mengunyah makanan yang lebih banyak dari itu. Jumlah mengunyah
gue pun turun drastis dari biasanya. Energinya abis buat supplai tenaga ke
jantung yang berdetak udah lebih dari 100 kali per menit. Hasilnya gue makan
dua kali lipat lebih lama. Gue biasanya bisa habisin nasi uduk ini dalam waktu
3-5 menit. Sekarang udah sepuluh menit dan itu masih ada potongan bala-bala
yang menunggu untuk gue hancurkan dalam mulut.
Rama yang emang dari genetik makannya lama, masih belum abis dan masih
serius mengunyah. Sesekali dia menatap gue, dan gue juga sesekali menatap dia.
Hanya sebatas itu, tatap-tatapan. Tak ada kata terucap dari mulut kami.
Selesai makan, gue dan Rama masuk ke
dalam kelas. Kelas yang akan di gunakan untuk perkuliahan hari ini udah lumayan
rame karena memang beberapa menit lagi jam masuk kuliah.
Rama memilih barisan meja ketiga dari depan sebagai meja yang akan kita
duduki. Jumlah seluruh baris meja itu ada sepuluh. Biasanya Rama minta kita
duduk di barisan kedelapan atau sembilan, biar kalau dosennya ngebosenin pas
lagi ngajar, dia bisa tidur tanpa ketahuan. Tapi sekarang dia malah milih meja
khusus untuk anak-anak yang niat utamanya datang ke kampus buat nyari ilmu!
“Kenapa di sini?” tanya gue bingung.
“Kamu katanya gak keliatan kalau di
belakang. Di sini aja biar keliatan.”
Rama yang cuek, bodo amet sama
penderitaan mata minus gue tiba-tiba jadi pengertian dan rela mengalah demi gue?
apa ini salah satu tanda-tanda kalau kiamat sudah dekat?
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Selama di kampus Rama selalu
memperdulikan apapun yang gue lakukan. Dia bahkan udah lebih bawel dari bokap
gue sendiri. Saat lagi di kelas, dia bantuin gue membetuklan listing program yang error saat mata
kuliah C++ tanpa gue mohon-mohon menjatuhkan
harga diri dulu agar dia mau bantuin gue. Dia malah dengan sabarnya ngajarin
dan nunjukin gue coding (sebutan
untuk penulisan perintah dalam pemograman) yang salah dari listing itu.
Waktu kita berdua lagi makan siang di kantin dan ada nasi yang nempel di
mulut gue, dia mengambilnya dengan slow
motion ditambah backsound lagu romantis pake piano-piano gitu, menatap gue
dalam, sambil membuang nasi yang nempel tersebut. Gue cuma cengok ngeliatin sikapnya yang gue yakin akan jadi so sweet banget kalau dijadiin film dan
di jual ke produser.
Dia juga dengan sigapnya menahan tubuh mungil gue saat gue hampir ke
peleset dari tangga. (Gue beneran kepeleset, kok… bukan modus biar bisa dipeluk
dia. Bukan… serius!) Terus dia juga dengan sabar mendampingi gue yang suka
jalan-jalan keliling kampus, mendampingi gue yang pengen makan gulali, nemenin
gue yang pengen nongkrong di taman sambil jilat-jilat eskrim, bayarin gue beli
sosis-sosis yang dibalut telor, yang biasa di jual di pinggir jalan. Lumayan,
ini anak lagi baik. Harus dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Selesai? Belum! Rama bahkan dengan sangat baiknya menyeka keringat gue
dengan sapu tangannya, mengambil helaian daun yang nyangkut di rambut gue,
membetulkan rambut gue yang kusut ketiup angin, niupin mata gue yang kelilipan
debu, menjaga gue biar gak kepeleset, lagi. Aneh, kan? Jadi super baik ini
anak.
Biasanya? Loe nanya gimana biasanya Rama ke gue? Oke! Akan gue kasih tau.
Rama itu adalah tipe orang yang paling males membuang-buang waktunya. Ungkapan
“Time is Money” kepunyaan Amrik tersebut sangat melekat erat dalam jiwa-raga
Rama. dia gak akan mau ikut sama gue yang suka jalan-jalan keliling kampus,
nongkrong-nongkrong melihat pemandangan kampus. Apalagi sampai beliin gue
jajanan pinggir jalan kayak gitu. Oh! Dan kalau pas kita lagi di tangga dan dia
menyadari gue mau terjatuh, gue yakin bukannya dia nahan gue, tapi dia akan
membiarkan gue terjatuh dan nantinya dia bisa ngetawain gue sampai mulutnya
berbusa. Boro-boro dia mau ngambil daun yang nyangkut di rambut gue, apalagi
benerin rambut yang kusut karena ketiup angin!
Kalau Power Renger itu beneran
ada! Mereka bisa langsung kalah dengan perubahan Rama yang ekstrem kayak
sekarang ini.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Pagi berikutnya pas gue keluar dari
kamar, Rama udah berdiri nyender di mobilnya di depan pagar kostan. Pagi ini
dia jemput gue lagi. Gue masih dengan heran berjalan menghampirinya, berusaha
memasang tampang yang menunjukan bahwa gue lagi aneh banget sama dia. Tapi dia
malah menikmati ke bingungan gue yang sudah berlangsun berhari-hari ini.
Dia, dengan ritualnya membukakan pintu mobil diikuti senyum indahnya itu
telah membuat hari gue yang bisa dibilang mejadi pacarnya menjadi hari dengan
penyesalan terdalam dalam hati gue. Dengan cuma bisa menghela nafas, gue masuk kedalam
mobilnya. Rama segera menjalankan tugas mengendarai mobil, untuk mengantarkan
kita berdua pergi ke kampus.
Gue menghela nafas berkali-kali.
Setiap gue menghela nafas, dia melirik kearah gue sekejab. Hanya sekejab, lalu
dia kembali menatap ke depan. Berasa kurang keras, gue langsung menghela nafas
lagi, lebih panjang dan yang paling panjang dari yang bisa gue usahakan.
“Hhhhh….Aaaaa…..!” Ternyata
endingnya adalah gue berteriak. Sesuatu yang gak gue rencanakan. Rama kaget.
Gue apalagi.
“Kamu kenapa?” Rama nanya lembut.
“Gara-gara temen gue.” Jawab gue
ketus. “Dia sekarang berubah.”
Rama gak membalas pembicaraan gue,
tapi dia menatap gue dengan dahi yang mengkerut. Bagus! Ekspresi yang gue
harapkan.
“Gue lagi ngomongin cowok yang
bernama Ramadhan. Dia berubah semenjak jadian sama gue.” Bibir gue masih
monyong.
Rama mulai mengerti kalau yang lagi
gue omongin itu tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Iyalah! Rama
mana lagi yang gue kenal, dan temen gue yang namanya Rama juga gak mungkin ada
banyak.
“Kamu gak suka?” Rama melirik gue,
lagi.
“Ngak!” Gue jawab sambil monyong.
Selesai. Pembicaraan kita selesai
sampai situ. Pertama karena kita udah sampai di kampus, kedua karena abis ini
gue bingung mau ngomong apa lagi sama dia. Setelah mobil terparkir dengan benar
dan mesin mobil dimatikan, gue langsung membuka pintu mobil –dengan tangan gue
sendiri– dan nyelonong ninggalin dia yang bahkan belum sempat menggerakan satu
jari pun.
Setelah cukup jauh dari parkiran, gue menoleh ke belakang. Ternyata gak
terlihat Rama mengejar gue. Sedikit kecewa, gue kira dia bakalan lari nyusul
gue dan mohon-mohon biar gue gak ngambek lagi. Gue garuk-garuk kepala, dasar
cowok cuek!
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Hari ini, dengan sendirian gue
melenggok masuk ke dalam kelas yang sekarang akan dipakai untuk mata kuliah yang
paling gue benci, C++. Buat loe yang
belum tau, atau yang ngambil jurusan beda sama gue, yang gak perlu berkutat
dengan bahasa komputer, sebelumya akan gue ucapkan “Selamat!” Karena kalian
sudah memilih jurusan yang benar. Kembali ke soal C++ tadi. C++ atau nama
lengkapnya Borland C++ adalah sebuah
bahasa pemograman dasar yang digunakan untuk membuat program komputer dengan
format .exe. Jadi intinya itu adalah
sebuah program yang dapat membuat program. Mulai dari yang sedehana kayak
menangani transaksi pertokoan sampai yang komplek juga bisa. Ngerti gak sama
penjelasan gue? Ngak! Bersabar lah….
Ternyata, sekarang gue lagi males ngomong sama Rama. Dan ternyata lagi,
jadwal –males ngomong sama Rama– yang gue putuskan jatuh pada hari ini adalah
keputusan yang salah! Biasanya saat mata kuliah ini gue nyonteknya sama dia…
tapi karena sekarang kayaknya gak bisa, sepertinya gue harus benar-benar
berkutat sendirian selama 3 SKS kedepan.
“Hai Ocha…”
Gue menoleh ke sumber suara saat
baru beberapa langkah masuk ke dalam kelas. Terlihat Andin, temen sekelas gue,
melambaikan tangan ke arah gue. Gue tersenyum membalas lambaiannya. Allah emang
gak pernah membiarkan hambanya menanggung cobaan melebihi kesanggupannya.
“Andin… gue duduk sini yah?” Gue
langsung menghampiri Andin dan duduk di sebelah kursinya –kebetulan emang lagi
kosong. Gue duduk tanpa menunggu jawabannya.
Just
information for you, Andin ini bukan temen –cewek– akrab gue, kayak gue
dan Rama, tapi kita cukup dekat dan dia cukup ramah sama gue. keakraban dan
keramahan dia ke gue juga bukan karena gue yang dekat sama Rama, dan bukan
karena ada modus-modus lain seperti cewek-cewek sebelumnya yang pernah baik
banget sama gue sampai neraktir setiap hari cuma karena pengen minta nomer HP
Rama doang. Andin bisa bersikap seperti itu karena emang kepribadian yang
dimilikinya memang seperti itu. Dan satu lagi yang paling penting, dia adalah
satu-satunya cewek yang sama sekali gak tertarik dengan ketampanan dan pancaran
aura kerennya Rama. Padahal kalau dia mau, dia bisa deketin Rama dan bahkan
jadi pacarnya. Andin ini terkenal dengan kecantikan dan hati malaikatnya karena
yang gue bilang tadi, dia ramah dan baik sama siapa aja. Dia juga pinter,
walaupun dalam nilai Rama masih yang nomor satu.
Gila, gak, sih nih cewek. Gue rasa dia lah orang yang paling pantas buat
jadi pacar Rama dibanding gue kalau cuma sekedar buat menghindar dari terror
cewek aneh setiap malem. Rama tinggal nunjukin Andin ke cewek aneh itu, yakin
itu cewek langsung bertekuk lutut depan Andin.
“Rama gak kuliah?” Andin bertanya
yang menghancurkan lamunan gue.
“Gak tau! Mati kali…!” Gue jawab
sambil pasang tampang males.
Andin bisa ngerti respon gue yang
menunjukan kalau gue lagi males ngomongin Rama. Dia akhirnya berhenti bertanya.
Ini cewek emang benar-benar bidadari. Kalau gue cowok, udah gue lamar ke
bapaknya.
Perkuliahan sebentar lagi akan
segera dimulai. Saat itulah Rama baru masuk kelas. Dia masuk, berjalan melewati
gue sambil melirik sebentar, lalu memilih bangku beberapa baris di belakang
gue. Tak berapa lama, dosen mata kuliah yang punya kumis tebal itu masuk ke
dalam kelas. Perkuliahan pun dimulai.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Satu minggu telah berlalu. Gue masih
gak tau apa Rama masih diteror sama cewek itu atau ngak, atau mungkin lebih
parah lagi? Gue gak ngerti! Yang jelas sekarang Rama jadi nambah posesif. Kalau
gue lagi gak bareng dia, pasti dia langsung nelepon dan langsung nanyain lagi
di mana. Nelepon, bro… nelepon! Yang biayanya bisa loe pake sampai lima kali
kirim SMS. Apalagi Rama beda provider
sama gue.
Ini mulai terjadi saat gue berniat untuk ngejauh dari dia. Niat gue untuk memulai hidup baru untuk
menjadi mahasiswi pada umumnya, ternyata disadarinya. Rama sebisa mungkin malah
mendekap gue sedekat-dekatnya dengan dia, dan membuat hidup gue menjadi lebih abnormal lagi dari biasanya. Sinting,
gak, sih itu anak!
“Ocha, kamu di mana?” Tanya Rama lewat HP-nya.
“Di kostan. Kenapa?” Jawab gue kesel. Ya iyalah! Gimana gak kesel coba,
gue lagi asyik-asyik nonton film terbarunya raditya
dika di laptop gue sambil ketawa-ketawa, tiba-tiba ini anak nelepon.
“Bisa keluar? Aku ada di depan pagar?” Rama, tanpa sempat gue jawab,
langsung menutup telepon.
Gue berfikir dan menimbang, berusaha
memilih di antara keputusan yang sangat berat ini. Kalau gue keluar, gue lagi
males ngeliat tampang ini anak. Di sisi lain, kalau gue gak keluar, mengingat
malam telah larut, cuaca di Bandung dingin, dan gue juga bukan tipe orang yang
setega itu membiarkan cowok keren kayak dia sendirian dengan mobil mahal di
perkampungan kecil ini. Bisa-bisa dia digodain banci lewat.
Akhirnya dengan laptop yang di-pause
dan hati yang berat, gue membuka kunci pintu kamar dan melongok keluar. Ternyata
benar, Rama lagi berdiri di dekat mobilnya. Gue berjalan menghampirinya dan
berhenti di depan pagar. Gue gak mau keluar atau membuka pagar itu untuk
sekedar menyuruh dia masuk dan duduk. Males!
“Kenapa?” gue nanya ketus.
“Aku kengen kamu!” Rama ngomong
dengan santainya. Seenggaknya itu yang gue tangkep.
Gak biasanya, gue merinding. Angin berhembus di sela-sela kebisuan gue
dan dia. Angin itu sekali lagi dengan usilnya menggoda kebingungan gue dengan
bertiup diantara helaian rambut yang bergoyang di sekitar wajah gue. Rama
menyadarinya, dia tersenyum.
Ini pertama kalinya bagi gue,
merasakan sekujur tubuh gue merinding. Bukan, bukan merinding, lebih tepatnya
mengigil. Asli! Gue jadi gak tau mau ngapain. Bahkan menggerakan telunjuk gue
aja, gue ragu. Rama masih menatap gue. Gue melihat dahinya, hidungnya, pipinya,
kerah bajunya, apapun asal bukan matanya.
“Kalau gak ada yang mau diomongin
lagi, gue masuk aja. Di sini dingin.” Gue akhirnya dapat mengontrol diri dengan
baik kembali. Gue langsung aja ninggalin dia yang masih diem di balik pagar,
membiarkan gue pergi darinya, menjauh dari pandangannya.
Gue mengunci pintu kamar dan
memposisikan tubuh gue di depan laptop, nge- play film yang tadi sempat tertunda dan berusaha berkonsentrasi
kembali ke dalam cerita.
Tiap adengan di film itu gue hayati, tiap dialognya gue dengarkan dengan
saksama. Tapi saat pikiran gue mulai kembali ke Rama, dengan sekuat tenaga gue
menggeleng-gelengkan kepala, berusaha membuyarkan bayang-bayangnya yang
berputar di kepala gue. Gue tarik telunjuk gue untuk mengeraskan volume spiker,
tapi saat mata gue menangkap tangan yang masih menggantung di udara, tangan itu
bergetar. Dia gemetaran… gemetar yang sangat hebat. Padahal gue udah di dalam
kamar, gak ada lagi angin dingin yang bisa membuat gue mengigil. Tapi, kenapa
tangan gue masih gak berhenti menggigil…?
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar