Sabtu, 29 Maret 2014

Teman Makan Cinta (part3)




03
 





Hari ini sudah hari keberapa… gue gak ngitung lagi, pokoknya semenjak kejadian pemukulan gue terhadap Chelsea, cewek yang suka neror Rama malem-malem, dan semenjak Rama resmi jadi Cowok ‘beneran’ gue, hidup gue udah gak beratura lagi.
Seperti cowok pada umumnya, setiap hari dia ke kostan gue buat ngejemput sebelum berangkat kuliah. Saat gue masuk pun itu pintunya dibukain sama dia. Gue risau? Jelas lah!
Rama yang gue kenal adalah seorang cowok yang gak punya sopan-santun sama sekali dengan cewek. Gak ada lembut-lembutnya deh sama gue. Dengan sikap dia yang berubah drastis sama gue, gimana gue jadi gak stress coba!
Rama jemput gue. Saat di dalam mobil, perasaan aneh yang udah menggerogoti tubuh dan jiwa gue dari beberapa hari lalu mulai muncul kembali. Gue udah sangat sering berada pada adegan seperti ini, duduk bersebalahan dengan jarak yang cukup dekat dengan Rama. Tapi kali ini, untuk yang pertama bagi gue, rasa canggung itu tiba-tiba datang mendekap dada, sehingga membuatnya menjadi sesak. Nafas gue bahkan gak beraturan karenanya. Gue pikir Asma gue kambuh, tapi karena ternyata gue gak ada keturunan Asma, berarti ini gara-gara gue lagi gugup.
Gue menoleh ke Rama. Rama jelas-jelas ada di sebelah gue, tapi kenapa gue ngerasa bukan dia yang ada di sini. Bukan Rama yang gue kenal yang tepat berada di dekat gue. Dia terasa begitu jauh dari pandangan gue… dia terasa begitu tak terjangkau dari hati gue… lagi-lagi gue merana karenanya. Akhirnya gue cuma bisa bengong liatin jalanan di samping gue. Beberapa menit berlalu… gue nguap. Beberapa menit berlalu… gue ketiduran di dalam mobil.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Sentuhan lembut yang mengoyang-goyang bahu, membangunkan gue dari tidur. Gue membuka mata dan mendapati Rama sangat dekat dengan wajah gue. Gue kaget dan dengan reflek menjauh dari mata besarnya yang memandangi gue. Tapi gue baru inget kalau ternyata ini lagi di dalam mobil dan ruang gerak sangat sedikit di sini, akhirnya usaha terakhir gue adalah dengan memalingkan wajah ke samping. Gila…! Jantung hampir copot liat wajah dia sedekat ini sama gue…. Rama kembali pada posisi duduknya.
            “Udah sampai.” Katanya.
            Gue mengusap mata dan melihat sekeliling dari dalam jendela mobil. Ya! Gue udah ada di parkiran kampus. Rama keluar dari mobilnya dan berjalan memutari mobilnya, lagi. Tapi sebelum dia sempat sampai ke depan pintu mobil, gue langsung buka, dengan tangan gue sendiri pintu yang ada di samping. Rama sempet kaget karena pintunya sudah terdorong sebelum dia tarik. Gue keluar dari mobilnya dan merapikan baju serta rambut gue yang kusut gara-gara gaya tidur gue barusan.
            Rama berjalan di sebelah gue seperti seorang bodyguard. Kakinya yang panjang berjalan agak perlahan menyamakan kecepatan langkahnya dengan kaki gue yang emang lebih pendek dari dia. Lagi-lagi ini bukan Rama yang selama ini gue kenal. Rama yang gue kenal adalah Rama yang selalu jalan di depan gue dan sering berteriak “Cepetan!” dengan nada kesal, ke gue yang dengan susah payah ngejar dia dari belakang.
            “Belum sarapan, kan?” Tanya Rama.
            Gue menggeleng.
            Kita sampai di kantin. Rama memilih meja yang dekat dengan pintu masuk. Dia meminta ijin ke gue buat memesan makanan. Ya, gue ijinin! Gue menunggu di meja tersebut dengan perasaan yang masih sangat-sangat-sangat aneh dengan sikap dia. Tapi karena perut gue lapar, akhirnya mengutamakan perut adalah hal yang paling penting. Mikirin Rama, itu bisa ditempatkan  pada nomor ke lima atau ke enam.
            Rama kembali dan duduk di kursi kosong di hadapan gue.
            “Loe mesenin gue apa?” Tanya gue.
            “Nasi kuning pake bala-bala, sambelnya dikit.” Jawabnya.
            Anak pinter. Dia inget gue selalu mesen itu kalau sarapan. Bukan apa-apa, karena lebih murah aja.
Tak lama pesanan kami datang. Kami berdua mulai melahap makanan tersebut dalam diam. Kediaman ini sama dengan saat di mobil tadi. Diam yang aneh, canggung dan bikin gue malah jadi tegang. Makan aja jadi gak konsen karenanya. Komposisi makanan yang masuk kedalam mulut gue jadi berkurang karena ketidak sanggupan gue dalam mengunyah makanan yang lebih banyak dari itu. Jumlah mengunyah gue pun turun drastis dari biasanya. Energinya abis buat supplai tenaga ke jantung yang berdetak udah lebih dari 100 kali per menit. Hasilnya gue makan dua kali lipat lebih lama. Gue biasanya bisa habisin nasi uduk ini dalam waktu 3-5 menit. Sekarang udah sepuluh menit dan itu masih ada potongan bala-bala yang menunggu untuk gue hancurkan dalam mulut.
Rama yang emang dari genetik makannya lama, masih belum abis dan masih serius mengunyah. Sesekali dia menatap gue, dan gue juga sesekali menatap dia. Hanya sebatas itu, tatap-tatapan. Tak ada kata terucap dari mulut kami.
            Selesai makan, gue dan Rama masuk ke dalam kelas. Kelas yang akan di gunakan untuk perkuliahan hari ini udah lumayan rame karena memang beberapa menit lagi jam masuk kuliah.
Rama memilih barisan meja ketiga dari depan sebagai meja yang akan kita duduki. Jumlah seluruh baris meja itu ada sepuluh. Biasanya Rama minta kita duduk di barisan kedelapan atau sembilan, biar kalau dosennya ngebosenin pas lagi ngajar, dia bisa tidur tanpa ketahuan. Tapi sekarang dia malah milih meja khusus untuk anak-anak yang niat utamanya datang ke kampus buat nyari ilmu!
            “Kenapa di sini?” tanya gue bingung.
            “Kamu katanya gak keliatan kalau di belakang. Di sini aja biar keliatan.”
            Rama yang cuek, bodo amet sama penderitaan mata minus gue tiba-tiba jadi pengertian dan rela mengalah demi gue? apa ini salah satu tanda-tanda kalau kiamat sudah dekat?
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Selama di kampus Rama selalu memperdulikan apapun yang gue lakukan. Dia bahkan udah lebih bawel dari bokap gue sendiri. Saat lagi di kelas, dia bantuin gue membetuklan listing program yang error saat mata kuliah C++ tanpa gue mohon-mohon menjatuhkan harga diri dulu agar dia mau bantuin gue. Dia malah dengan sabarnya ngajarin dan nunjukin gue coding (sebutan untuk penulisan perintah dalam pemograman) yang salah dari listing itu.
Waktu kita berdua lagi makan siang di kantin dan ada nasi yang nempel di mulut gue, dia mengambilnya dengan slow motion ditambah backsound lagu romantis pake piano-piano gitu, menatap gue dalam, sambil membuang nasi yang nempel tersebut. Gue cuma cengok ngeliatin sikapnya yang gue yakin akan jadi so sweet banget kalau dijadiin film dan di jual ke produser.
Dia juga dengan sigapnya menahan tubuh mungil gue saat gue hampir ke peleset dari tangga. (Gue beneran kepeleset, kok… bukan modus biar bisa dipeluk dia. Bukan… serius!) Terus dia juga dengan sabar mendampingi gue yang suka jalan-jalan keliling kampus, mendampingi gue yang pengen makan gulali, nemenin gue yang pengen nongkrong di taman sambil jilat-jilat eskrim, bayarin gue beli sosis-sosis yang dibalut telor, yang biasa di jual di pinggir jalan. Lumayan, ini anak lagi baik. Harus dimanfaatkan seoptimal mungkin.
Selesai? Belum! Rama bahkan dengan sangat baiknya menyeka keringat gue dengan sapu tangannya, mengambil helaian daun yang nyangkut di rambut gue, membetulkan rambut gue yang kusut ketiup angin, niupin mata gue yang kelilipan debu, menjaga gue biar gak kepeleset, lagi. Aneh, kan? Jadi super baik ini anak.
Biasanya? Loe nanya gimana biasanya Rama ke gue? Oke! Akan gue kasih tau. Rama itu adalah tipe orang yang paling males membuang-buang waktunya. Ungkapan “Time is Money” kepunyaan Amrik tersebut sangat melekat erat dalam jiwa-raga Rama. dia gak akan mau ikut sama gue yang suka jalan-jalan keliling kampus, nongkrong-nongkrong melihat pemandangan kampus. Apalagi sampai beliin gue jajanan pinggir jalan kayak gitu. Oh! Dan kalau pas kita lagi di tangga dan dia menyadari gue mau terjatuh, gue yakin bukannya dia nahan gue, tapi dia akan membiarkan gue terjatuh dan nantinya dia bisa ngetawain gue sampai mulutnya berbusa. Boro-boro dia mau ngambil daun yang nyangkut di rambut gue, apalagi benerin rambut yang kusut karena ketiup angin!
Kalau Power Renger itu beneran ada! Mereka bisa langsung kalah dengan perubahan Rama yang ekstrem kayak sekarang ini.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Pagi berikutnya pas gue keluar dari kamar, Rama udah berdiri nyender di mobilnya di depan pagar kostan. Pagi ini dia jemput gue lagi. Gue masih dengan heran berjalan menghampirinya, berusaha memasang tampang yang menunjukan bahwa gue lagi aneh banget sama dia. Tapi dia malah menikmati ke bingungan gue yang sudah berlangsun berhari-hari ini.
Dia, dengan ritualnya membukakan pintu mobil diikuti senyum indahnya itu telah membuat hari gue yang bisa dibilang mejadi pacarnya menjadi hari dengan penyesalan terdalam dalam hati gue. Dengan cuma bisa menghela nafas, gue masuk kedalam mobilnya. Rama segera menjalankan tugas mengendarai mobil, untuk mengantarkan kita berdua pergi ke kampus.
            Gue menghela nafas berkali-kali. Setiap gue menghela nafas, dia melirik kearah gue sekejab. Hanya sekejab, lalu dia kembali menatap ke depan. Berasa kurang keras, gue langsung menghela nafas lagi, lebih panjang dan yang paling panjang dari yang bisa gue usahakan.
            “Hhhhh….Aaaaa…..!” Ternyata endingnya adalah gue berteriak. Sesuatu yang gak gue rencanakan. Rama kaget. Gue apalagi.
            “Kamu kenapa?” Rama nanya lembut.
            “Gara-gara temen gue.” Jawab gue ketus. “Dia sekarang berubah.”
            Rama gak membalas pembicaraan gue, tapi dia menatap gue dengan dahi yang mengkerut. Bagus! Ekspresi yang gue harapkan.
            “Gue lagi ngomongin cowok yang bernama Ramadhan. Dia berubah semenjak jadian sama gue.” Bibir gue masih monyong.
            Rama mulai mengerti kalau yang lagi gue omongin itu tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri. Iyalah! Rama mana lagi yang gue kenal, dan temen gue yang namanya Rama juga gak mungkin ada banyak.
            “Kamu gak suka?” Rama melirik gue, lagi.
            “Ngak!” Gue jawab sambil monyong.
            Selesai. Pembicaraan kita selesai sampai situ. Pertama karena kita udah sampai di kampus, kedua karena abis ini gue bingung mau ngomong apa lagi sama dia. Setelah mobil terparkir dengan benar dan mesin mobil dimatikan, gue langsung membuka pintu mobil –dengan tangan gue sendiri– dan nyelonong ninggalin dia yang bahkan belum sempat menggerakan satu jari pun.
Setelah cukup jauh dari parkiran, gue menoleh ke belakang. Ternyata gak terlihat Rama mengejar gue. Sedikit kecewa, gue kira dia bakalan lari nyusul gue dan mohon-mohon biar gue gak ngambek lagi. Gue garuk-garuk kepala, dasar cowok cuek!
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Hari ini, dengan sendirian gue melenggok masuk ke dalam kelas yang sekarang akan dipakai untuk mata kuliah yang paling gue benci, C++. Buat loe yang belum tau, atau yang ngambil jurusan beda sama gue, yang gak perlu berkutat dengan bahasa komputer, sebelumya akan gue ucapkan “Selamat!” Karena kalian sudah memilih jurusan yang benar. Kembali ke soal C++ tadi. C++ atau nama lengkapnya Borland C++ adalah sebuah bahasa pemograman dasar yang digunakan untuk membuat program komputer dengan format .exe. Jadi intinya itu adalah sebuah program yang dapat membuat program. Mulai dari yang sedehana kayak menangani transaksi pertokoan sampai yang komplek juga bisa. Ngerti gak sama penjelasan gue? Ngak! Bersabar lah….
Ternyata, sekarang gue lagi males ngomong sama Rama. Dan ternyata lagi, jadwal –males ngomong sama Rama– yang gue putuskan jatuh pada hari ini adalah keputusan yang salah! Biasanya saat mata kuliah ini gue nyonteknya sama dia… tapi karena sekarang kayaknya gak bisa, sepertinya gue harus benar-benar berkutat sendirian selama 3 SKS kedepan.
            “Hai Ocha…”
            Gue menoleh ke sumber suara saat baru beberapa langkah masuk ke dalam kelas. Terlihat Andin, temen sekelas gue, melambaikan tangan ke arah gue. Gue tersenyum membalas lambaiannya. Allah emang gak pernah membiarkan hambanya menanggung cobaan melebihi kesanggupannya.
            “Andin… gue duduk sini yah?” Gue langsung menghampiri Andin dan duduk di sebelah kursinya –kebetulan emang lagi kosong. Gue duduk tanpa menunggu jawabannya.
            Just information for you, Andin ini bukan temen –cewek­– akrab gue, kayak gue dan Rama, tapi kita cukup dekat dan dia cukup ramah sama gue. keakraban dan keramahan dia ke gue juga bukan karena gue yang dekat sama Rama, dan bukan karena ada modus-modus lain seperti cewek-cewek sebelumnya yang pernah baik banget sama gue sampai neraktir setiap hari cuma karena pengen minta nomer HP Rama doang. Andin bisa bersikap seperti itu karena emang kepribadian yang dimilikinya memang seperti itu. Dan satu lagi yang paling penting, dia adalah satu-satunya cewek yang sama sekali gak tertarik dengan ketampanan dan pancaran aura kerennya Rama. Padahal kalau dia mau, dia bisa deketin Rama dan bahkan jadi pacarnya. Andin ini terkenal dengan kecantikan dan hati malaikatnya karena yang gue bilang tadi, dia ramah dan baik sama siapa aja. Dia juga pinter, walaupun dalam nilai Rama masih yang nomor satu.
Gila, gak, sih nih cewek. Gue rasa dia lah orang yang paling pantas buat jadi pacar Rama dibanding gue kalau cuma sekedar buat menghindar dari terror cewek aneh setiap malem. Rama tinggal nunjukin Andin ke cewek aneh itu, yakin itu cewek langsung bertekuk lutut depan Andin.
            “Rama gak kuliah?” Andin bertanya yang menghancurkan lamunan gue.
            “Gak tau! Mati kali…!” Gue jawab sambil pasang tampang males.
            Andin bisa ngerti respon gue yang menunjukan kalau gue lagi males ngomongin Rama. Dia akhirnya berhenti bertanya. Ini cewek emang benar-benar bidadari. Kalau gue cowok, udah gue lamar ke bapaknya.
            Perkuliahan sebentar lagi akan segera dimulai. Saat itulah Rama baru masuk kelas. Dia masuk, berjalan melewati gue sambil melirik sebentar, lalu memilih bangku beberapa baris di belakang gue. Tak berapa lama, dosen mata kuliah yang punya kumis tebal itu masuk ke dalam kelas. Perkuliahan pun dimulai.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Satu minggu telah berlalu. Gue masih gak tau apa Rama masih diteror sama cewek itu atau ngak, atau mungkin lebih parah lagi? Gue gak ngerti! Yang jelas sekarang Rama jadi nambah posesif. Kalau gue lagi gak bareng dia, pasti dia langsung nelepon dan langsung nanyain lagi di mana. Nelepon, bro… nelepon! Yang biayanya bisa loe pake sampai lima kali kirim SMS. Apalagi Rama beda provider sama gue.
Ini mulai terjadi saat gue berniat untuk ngejauh dari dia.  Niat gue untuk memulai hidup baru untuk menjadi mahasiswi pada umumnya, ternyata disadarinya. Rama sebisa mungkin malah mendekap gue sedekat-dekatnya dengan dia, dan membuat hidup gue menjadi lebih abnormal lagi dari biasanya. Sinting, gak, sih itu anak!
“Ocha, kamu di mana?” Tanya Rama lewat HP-nya.
“Di kostan. Kenapa?” Jawab gue kesel. Ya iyalah! Gimana gak kesel coba, gue lagi asyik-asyik nonton film terbarunya raditya dika di laptop gue sambil ketawa-ketawa, tiba-tiba ini anak nelepon.
“Bisa keluar? Aku ada di depan pagar?” Rama, tanpa sempat gue jawab, langsung menutup telepon.
            Gue berfikir dan menimbang, berusaha memilih di antara keputusan yang sangat berat ini. Kalau gue keluar, gue lagi males ngeliat tampang ini anak. Di sisi lain, kalau gue gak keluar, mengingat malam telah larut, cuaca di Bandung dingin, dan gue juga bukan tipe orang yang setega itu membiarkan cowok keren kayak dia sendirian dengan mobil mahal di perkampungan kecil ini. Bisa-bisa dia digodain banci lewat.
Akhirnya dengan laptop yang di-pause dan hati yang berat, gue membuka kunci pintu kamar dan melongok keluar. Ternyata benar, Rama lagi berdiri di dekat mobilnya. Gue berjalan menghampirinya dan berhenti di depan pagar. Gue gak mau keluar atau membuka pagar itu untuk sekedar menyuruh dia masuk dan duduk. Males!
            “Kenapa?” gue nanya ketus.
            “Aku kengen kamu!” Rama ngomong dengan santainya. Seenggaknya itu yang gue tangkep.
Gak biasanya, gue merinding. Angin berhembus di sela-sela kebisuan gue dan dia. Angin itu sekali lagi dengan usilnya menggoda kebingungan gue dengan bertiup diantara helaian rambut yang bergoyang di sekitar wajah gue. Rama menyadarinya, dia tersenyum.
            Ini pertama kalinya bagi gue, merasakan sekujur tubuh gue merinding. Bukan, bukan merinding, lebih tepatnya mengigil. Asli! Gue jadi gak tau mau ngapain. Bahkan menggerakan telunjuk gue aja, gue ragu. Rama masih menatap gue. Gue melihat dahinya, hidungnya, pipinya, kerah bajunya, apapun asal bukan matanya.
            “Kalau gak ada yang mau diomongin lagi, gue masuk aja. Di sini dingin.” Gue akhirnya dapat mengontrol diri dengan baik kembali. Gue langsung aja ninggalin dia yang masih diem di balik pagar, membiarkan gue pergi darinya, menjauh dari pandangannya.
            Gue mengunci pintu kamar dan memposisikan tubuh gue di depan laptop, nge- play film yang tadi sempat tertunda dan berusaha berkonsentrasi kembali ke dalam cerita.
Tiap adengan di film itu gue hayati, tiap dialognya gue dengarkan dengan saksama. Tapi saat pikiran gue mulai kembali ke Rama, dengan sekuat tenaga gue menggeleng-gelengkan kepala, berusaha membuyarkan bayang-bayangnya yang berputar di kepala gue. Gue tarik telunjuk gue untuk mengeraskan volume spiker, tapi saat mata gue menangkap tangan yang masih menggantung di udara, tangan itu bergetar. Dia gemetaran… gemetar yang sangat hebat. Padahal gue udah di dalam kamar, gak ada lagi angin dingin yang bisa membuat gue mengigil. Tapi, kenapa tangan gue masih gak berhenti menggigil…?
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar