05
|
Pagi ini gue lagi duduk di atas
kasur dengan badan harum, rambut rapi dan pakaian licin. Gue udah siap
berangkat kuliah. Tinggal tunggu Rama dateng buat jemput gue.
Tiiinn…Tinn…
Suara klakson mobil terdengar sampai
ke dalam kamar. Rama udah tepat berada di depan pagar kostan. Gue langsung
mengambil ransel yang tergantung di samping lemari, dan berbegas keluar untuk
menghampirinya. Gue buka pintu kamar, dan hal yang pertama gue lihat di antara
dunia ini, di antara indahnya langit biru dan segarnya udara, gue liat Rama,
tersenyum manis ke arah gue.
“Haaallooo…” Gue menyapanya.
Rama tertawa kecil mendengar sapaan
gue yang bernada riang tadi. mungkin dia pikir, gak biasanya ini anak mood-nya baik. Dia langsung, seperti
biasa, membukakan pintu mobilnya buat gue. tapi karena yang dia tebak benar,
kalau mood gue lagi bagus hari ini,
jadi gue langsung dengan anggun, masuk ke dalam mobilnya. Rama duduk di sebelah
gue. tapi sebelum dia menyalakan mobilnya, dia sempat melirik ke arah gue, yang
masih tersenyum, dengan dahi yang mengkerut.
“Bahagia banget?” Rama akhirnya
bertanya juga.
“Abis keluar dari rumah sakit,
supplai semangat buat hidup jadi makin banyak.”
“Emang kamu sempet, gak semangat
hidup?”
“Sempet sih… karena temen gue yang
tiba-tiba berubah.”
Rama diem. Gue lagi ngomongin loe,
dodol!
Sampai di kampus, gue dan Rama
langsung pergi ke kelas untuk memenuhi tujuan kami, dan semua mahasiswa yang
datang ke kampus, untuk ngisi Absen.
Tapi tidak termasuk dengan mahasiswa bernama Rama ini, oh! dan satu lagi,
Andin. Mereka pasti datang ke kempus dengan rajinnya setiap hari, karena mereka
ingin mendapatkan ilmu, nilai bagus pas ulangan, dan untuk di Ijasah… dan masih
banyak lagi yang gak gue ngerti.
Gue
kasih tau, yah gimana Rama kalau lagi di dalem kelas, pas lagi ada mata kuliah.
Rama itu adalah tipe orang yang sangat pintar memilih Dosen berkualitas. Maksud
gue, dia akan belajar dengan rajin, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan
memperhatikan dengan saksama kalau Dosen itu punya sifat pengajar yang baik,
artinya dia ngajarnya gak asal-asalan. Tapi kalau Dosen tersebut adalah Dosen
yang ngajarnya cuma sekedar “Yang penting dia udah ngajar”, Rama lebih memilih
tidur selama mata kuliahnya. Itulah mengapa dia lebih senang memilih meja yang
berada di barisan belakang daripada di baris depan. Tapi, ini fakta kedua dia.
Dia itu adalah tipe orang yang bisa paham dan bisa ngerti walaupun cuma dari
membaca buku atau belajar sendiri. Maka dari itu, walaupun di kelas dia
kerjaannya tidur mulu, tapi yang bener-bener bikin gue sirik setengah mati sama
dia, IP dia setiap semester selalu diatas 3,5 dan gak ada satu pun mata kuliah
yang dapat grade ‘C’.
Kalau dalam kasus gue, target yang gue pasang gak terlalu muluk-muluk
cuma biar gak ngulang semester pendek aja, alias gak ada mata kuliah yang dapet
garde ‘D’. Soalnya, kalau ada matakuliah
yang di-her, otomatis gue harus
mengeluarkan uang lebih untuk bayar SKS semester pendek. Gue gak mau. Jadi
sebisa mungkin, setiap UTS atau UAS, posisi duduk gue harus strategis biar bisa
nanya ke Rama kalau ada soal yang gak gue bisa. Biasanya sih hampir semuanya
gue nanya ke dia.
Oh! gue hampir lupa. Satu lagi yang paling penting tentang si Rama kalau
lagi di kelas. Dia, kalau lagi serius memperhatikan atau serius ngerjain soal,
jangan sekali-kali berani mengajaknya ngobrol. Percuma, gak akan ditanggepin. Temen
sekelas gue aja, cewek, kemaren mau minjem pulpen sama si Rama malah di
kacangin abis-abisan sampai mulutnya berbusa karena Rama gak nengok-nengok pas
dipanggil. Untung ada gue yang sigap ngambil tempat pensil Rama yang tergeletak
di atas meja, yang kebetulan deket sama gue. Saat gue ambil tempat pensil
kotak, hitamnya, dia masih gak bergeming dan masih terpaku dengan buku di
hadapannya. Pas gue buka kotak pensilnya, itu pun dia masih gak bergeming.
Akhirnya, gue pikir, mungkin dia lagi serius jadi gak sempet buat ambil pulpen
di kotak pensil itu dan memberikan ke cewek yang malang tersebut. Akhirnya gue
mencoba untuk memeriksa isi kotak pensil itu kalau-kalau masih ada pulpen yang
gak dia pake, yang bisa gue pinjemin ke cewek tadi. Ternyata setelah gue
cari-cari, di dalam tempat pensilnya cuma ada SATU pensil, SATU tipe-x, SATU
pengapus dan SATU pulpen yang udah pasti lagi dipakenya. Anak orang kayak macam
apa yang cuma punya peralatan tulis masing-masing satu kayak gini.
Gue nengok ke cewek tipe-tipe manja itu dan terlihat tampangnya sangat
berharap untuk dipinjamkan pulpen oleh Rama, yang gue yakin kalau dia gak bisa
dapetinnya, dia akan kecewa seumur hidup. Mungkin dia adalah salah satu dari
cewek penggila Rama di kelas ini. Gue lirik pulpen yang lagi di genggam Rama di
tangannya, dan –gua cume pengen tau reaksinya, dengan melebihi kecepatan cahaya
gue rebut pulpen itu dan langsung gue berikan ke cewek yang sangat mengharapkannya
tadi. Dia terlihat bahagia sampai cium-cium itu pulpen segala. Mungkin dia lagi
ngebayangin pulpen yang diciuminnya dengan sadis itu sebagai Rama. Gue ketawa
sendiri.
“Loe ngapain sih?”
Gue langsung menoleh ke Rama. Tawa
gue tiba-tiba lenyap.
Muka Rama merah, terlihat jelas karena
kulitnya yang putih. Dahinya mengkerut, giginya bergemeretak, matanya terbuka
lebar. Dapat gue simpulkan dari observasi
ini kalau Rama benar-benar marah.
“Tadi… ada yang… minjem…” gue
ngomong terbata-bata karena di todong Revolver (matanya Rama –red) tepat ke kepala gue.
Rama
akhirnya mengambil paksa pulpen 3.000-an gue dan melanjutkan menulis dengan
pulpen itu. Gue gemeteran di tempat. Asli! Serem banget seorang Rama yang
sedang di ganggu saat belajar. Pelajaran berharga buat gue.
Oke, itu, kan waktu dulu pas dia
‘masih’ jadi temen gue. Gue, dengan niat gila gue ini, ingin melakukan Observasi ulang apakah Rama akan
bereaksi sama pada rangsangan serupa yang akan gue teliti ini. Kebetulan saat
ini Rama, di sebelah gue, sedang serius mengerjakan soal yang ada di pantulan proyektor yang sedang menyorot ke tengah
dinding kelas polos yang berwarna putih itu. Dosennya juga lagi pergi hentah
kemana. Oke! Lingkungan sudah mendukung. Sekarang kita tinggal tentukan Varian Y, atau faktor luar yang akan digunakan
dalam percobaan gue ini. Cewek bertipe manja, gue butuh cewek itu sekarang. Gue
celingak-celinguk ke depan, samping dan
belakang. Ternyata cewek bertipe manja yang gue cari telah ditemukan, duduk
tepat di belakang Rama. Dan bagusnya, cewek ini adalah cewek yang sama dengan
cewek yang waktu itu minta dipinjemin pulpennya Rama ke gue. Perfect!
Gue berbisik ke cewek itu, tanpa diketahui
Rama “Mau pulpen Rama lagi gak?” Dia
mengangguk dengan antusias. Sekarang tinggal melakukan penelitian. Pertama, gue
panggil lembut namanya.
“Rama…?”
Dia gak merespon.
“Rama…?” gue kencangkan suara gue.
Rama masih diem.
Gue langsung rebut pulpen yang ada
di tangannya itu. Rama bergeming. Dia menoleh ke arah gue, darah gue mengalir
cepat, jantung gue berdetak kencang, senyum licik muncul di wajah gue.
“Jangan main-main, kerjain soalnya.”
Rama ngomong sangat lembut ke gue. Dia kembali mengambil pulpennya dari tangan
gue. Tanpa gue tahan pulpen itu bergerak perlahan dari cengkraman gue. Rama
kembali dengan buku di depannya.
Gue bengong. Cewek tadi juga
bengong. Gue dan dia saling bertatap-tatap. Kesimpulan yang bisa gue ambil dari
penelitian ini adalah, Rama benar-benar udah nganggep gue sebagai seorang ‘cewek’
bukan temen yang bisa di-songong-songongin
lagi.
Gak asik! Rama Gila! Kenapa dia jadi
kayak gini, sih? Kalau gini mendingan gue minta putus aja sama dia.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
“Andin… dia itu udah berubah banget.
Udah kayak ulat yang berubah jadi kupu-kupu. Manis, baik, sopan, dan itu bikin
gue selalu canggung, jantung gue berdetak lebih cepat, dan bahkan gak berani
buat sekedar mandang dia kalau lagi ngomong. Gue takut kena liver, Andin.” Gue langsung mengeluarkan
unek-unek gue pas kita lagi di kantin sebelum mata kuliah berikutnya di mulai.
Rama? gak tau, deh kemana. Yang jelas gue langsung kabur setelah keluar kelas.
“Hahaha… udah hampir sebulan kalian
jadian, kamu masih belum sadar juga?” Andin malah ketawa.
Gue mengkerutkan dahi.
“Kayaknya kamu harus dipisahin
sejauh mungkin sama Rama, baru kamu ngerti.”
Baru gue ngerti? Yang Andin omongin
aja gue gak ngerti sama sekali. Ini anak bahasanya terlalu tinggi mungkin,
sampai-sampai gue sama sekali gak ngerti maksud yang lagi dia omongin. Atau
jangan-jangan akhir-akhir ini gue makin bego gara-gara kebanyakan nonton film
depan leptop? Tidaaakkk….!
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Akhirnya perkuliahan hari ini
selesai. Rama disebelah gue lagi membereskan peralatan tulis dan buku-bukunya.
Gue, sambil mengamati tiap anak keluar dari ruang kelas besar, yang bisa
menampung 50 mahasiswa sekaligus, nungguin dia selesai memasukan semua
barang-barangnya.
“Langsung pulang?” Rama nanya.
“Iya…”
“Main yuk!”
Gue berfikir sejenak. “Yuk! Kemana?”
“Mall aja.”
Bahaya! Gawat! Dangerous! Ini anak
gak boleh sama sekali dekat-dekat sama bangunan besar yang berisi banyak barang-barang
yang di jual-jualin itu. Dia, kalau udah ke Mall, udah kayak cewek yang
beringas liat barang diskonan. Tapi bedanya, Rama beringasnya kalau liat kemeja
keren, jaket casual atau jam tangan
blink-blink. Gue sih gak masalah kalau dia belanja semua barang-barang itu, toh
itu pake duitnya sendiri. Tapi yang bikin gue males kalau udah ke Mall sama dia
adalah saat dia lagi milih-milih baju, misalnya, dia liat gaun merah gemerlap,
cantik dan anggun, bergelantung tak bermilik di depan matanya, dia langsung
nyuruh gue buat nyobain. Nyobain gaun yang bahkan gue sendiri gak ngerti gimana
cara makenya! Kalau gue gak mau, dia akan komentarin cara berpakaian gue yang
kayak Gembel. Yap! Dengan tanpa dosa
dan ragu-ragu, dia langsung ngatain cara berpakaian gue kayak gembel. Padahal
gue cuma pake celana jeans lusuh, kaos polos sama kemeja kotak-kotak yang
sengaja tak dikancing. Gaya-gaya anak kuliahan jaman sekarang, kayak gini
dibilang gembel! Loe gak tau gembel yang sebenarnya Rama!
Betapa keras dan ngototnya gue
protes ke Rama, tapi akhirnya kita di sini juga. Di dalem Mall. Rama lagi sibuk
milih-milih kemeja. Gue, dengan segala kesabaran yang gue punya, lebih memilih
untuk nungguin dia di luar. Biar dia gak bisa nyuruh gue pake gaun, lagi kalau
dia nemu gaun bagus nan cantik.
Sambil ketawa-ketawa sendiri baca novel yang ada di tangan gue, gue
nungguin dia di kursi panjang empuk yang ada di toko baju tersebut. Tak lama
gue melihat Rama sudah mulai membayar beberapa kemeja putih, yang diberikannya
ke kasir. Tapi yang membuat gue janggal adalah dia ternyata gak sendirian. Ada
cewek super manis, tinggi bak foto model, berambut panjang, hitam, lebat,
berbibir merah, mata lentik, senyum manis yang berdiri tepat di sampingnya. Gue
bisa menyimpulkan senyumnya manis karena itu udah keliatan walaupun dia lagi
gak senyum. Karena, gak senyum aja udah manis, apalagi senyum!
Mereka terlihat tampak asyik bercakap-cakap sambil si mbak kasir
menghitung baju-baju mereka. Mata gue juga semakin menyipit melihat tumpukan
baju yang sedang dihitung terdapat beberapa lembar kemeja cewek yang gue
simpulkan milik cewek cantik tadi. Kalau gue gak salah inget, gue adalah
ceweknya Rama. Dengan Rama yang terlihat akrab dengan cewek lain –dalam kasus ini
lebih cantik dari gue– apakah itu tidak dikategorikan dengan yang namanya
‘selingkuh’?
Gue masih pura-pura membaca saat
Rama datang menghampiri gue bersama cewek cantik itu.
“Cha, kenalin, ini Rachel.”
Cewek yang kalau diliat dari dekat,
ternyata sepuluh kali lebih cantik dan lebih bersinar itu mengulurkan tangannya
sambil tersenyum pada gue. Tuh, kan bener, senyumnya manis banget….
“Rachel…”
Gue langsung, tanpa membuatnya
menunggu, meraih tangannya yang sudah terbuka tepat di depan muka gue, “Ocha…”
“Dia anaknya temen bokap.” Kata Rama
lagi.
“Oh…” gue ber-oh.
“Ocha… temen kamu itu yah? Yang
mungil dan polos?” cewek bernama Rachel itu sok tau.
Gue langsung menoleh ke arah Rama.
Kecil dan polos? Kalau kecil, sih itu emang bener, tapi kalau polos…
Oke! Akan gue klarifikasi tentang
‘polos’ itu. Banyak yang bilang kalau gue ini polos karena gue adalah tipe
orang yang selalu bicara apa adanya. Apa yang ada di otak gue, selalu langsung
bisa gue keluarkan. Mau itu menyakitkan atau menyebalkan. Tapi lebih dari itu,
dan lebih dari yang orang lain tau, di balik kepolosan gue itu tersimpan Ocha
yang licik, kejam dan haus darah. Hahahahaha….
“Iya, dia temen gue.” Jawab Rama.
Kalau gak salah dengar, Rama sedang
memperkenalkan gue sebagai ‘temannya’ bukan ‘ceweknya’ apa ini yang termasuk
dengan “Kekasih yang tak dianggap” atau ini bisa dimasukan ke kategori “Gue
cewek bego”. Jelasnya gue udah bisa ngambil kesimpulan, walaupun hanya satu
pihak, pihak gue, berdasarkan pernyataannya yang mengatakan bahwa gue adalah
“temennya”, dengan ini gue nyatakan bahwa gue telah resmi putus dari Rama.
Masih di Mall yang sama, Rachel
megajak Rama dan gue buat nemenin dia makan malem. Rama langsung meng-iya-kan
tanpa menanyakan dulu pendapat gue. Tapi gue, sih gak keberatan. Apalagi kalau
tau bakal dibawa ke tempat makan yang kayaknya mahal banget gini, yang bahkan
baru gue tau kalau restoran kayak gini ternyata ada di Mall tersebut. Tempat
yang lebih pantas digunakan sebagai tempat buat nembak gebetan ini tepatnya ada di lantai paling atas. Di pojok posisinya.
Mungkin karena pemandangan yang disuguhkan oleh restoran ini sangat indah dan
menawan. Jika kita beruntung mendapat meja kosong di dekat jendela, maka
hiruk-pikuk kota bandung dan lalu-lintasnya terlihat jelas di bawah sana.
Gemerlap lampu-lampu jalan seperti hiasan neon yang bertebaran terlihat dari
lantai 5 bangunan Mall ini.
Kesan pertama yang gue dapet saat melewati pintunya adalah: Makanan di
sini mahal, tidak sebanding dengan porsinya yang kecil. Lalu, restoran ini
adalah restoran khusus untuk anak-anak orang kaya Bandung menghabiskan waktu
bersama pacarnya. Ada tempat khusus buat yang mau candlelight dinner.
Rachel, karena sadar gue juga ada, akhirnya memilih tempat dengan kursi
soffa empuk dan meja besar untuk 3 orang.
Di restoran ini, Rama dan Rachel
mulai berbincang dengan akrabnya. Mereka mulai membicarakan tentang masa-masa
lalu mereka saat, tentu aja, sebelum kenal gue. merutut hasil ‘nguping’ gue
mengenai pembicaraan mereka, Rama dan Rachel ini adalah teman dari kecil. Kedua
orang tua mereka sangat akrab karena mereka pernah menjalankan bisnis bersama.
Tiap minggu mereka saling berkunjung satu sama lain. Tapi semenjak orang tua
Rachel dipindah tugaskan ke Amerika, Rama udah gak pernah berhubungan lagi
dengannya. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu setelah hampir 12 tahun
berpisah.
Selesai mengadakan reuni dadakan
ini, akhirnya kami bertiga pun memutuskan untuk pulang.
“Mmm… Cha, kamu pulang sendiri yah,
aku mau anterin Rachel pulang, sambil mau ketemu sama orang tuanya.” Kata Rama
saat baru keluar dari lift.
Gue hanya bisa meng-iya-kan. Kesel…?
Ngak… cuma sedikit kecewa. Tapi gak masalah buat gue, mereka temen lama yang
udah lama juga gak ketemu. Apa salahnya membiarkan mereka dulu. Mungkin Rachel
juga ingin banyak ngobrol dengan Rama, tapi gak bisa karena ada gue. Yap! Gue
masih bisa memaklumi.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Aaarrrgg… gue lagi stress. Sekarang
jam dinding kecil yang menggantung di dinding kamar gue sudah menunjukan pukul
01.00. Jam satu malem dan gue masih berkutat dengan program yang errornya masih
ngejejer kayak kasus korupsi yang gak selesai-selesai. Perumpamaan gue gak
nyambung? bodo ah! Yang jelas ini program udah gue utak-atik, masih aja gak
bisa jalan-jalan. Gue udah mebelaklakan kedua mata, berusaha sedetail mungkin
mencari kemungkinan kesalahan pengetikan coding
yang gue lakukan sampai ke titik koma, tapi tetep aja masih gak bisa gue
pecahkan.
Padahal program ini nantinya akan gue gunakan untuk presentasi mata
kuliah yang pantinya paling gak penting sedunia, apalagi kalau bukan C++. Kalau programnya udah gak jalan,
apa yang harus gue jelasin di depan kelas nanti. Masa gue harus bilang…
“Program ini adalah program yang
bisa membuat anda pusing. Error yang terdapat dalam program ini lebih banyak
jika anda meng-input data yang tidak
sesuai dengan tipe datanya.”
Yang gak ngerti pemograman gak usah
pusing-pusing baca penjelasan gue ini. Kalian hanya perlu fokus pada jurusan
kalian saja. Jangan pedulikan gue!
Setelah pasrah, akhirnya gue dengan
segala keberatan hati, mau gak mau harus nanya sama si Rama. Orang, yang kalau
dimintai tolong buat ngajarin gue, pasti akan lebih banyak ngomelnya daripada
ngajarinnya. Dengan berat hati! Demi masa depan gue!
Tuuttt…tuuttt…
Gue menghubungi nomor Rama. Telepon
pertama gak diangkat. Mungkin dia udah tidur. Tapi karena gue orangnya iseng, jadi
akan gue ganggu tidurnya sampai dia angkat telepon gue.
Tuuttt…tuuttt…
Gue hubungi dia lagi. Lama gue
menunggu dan akhirnya telepon gue dialihkan ke kotak suara. Ini anak tidurnya
nyenyak banget. Gue memutuskan untuk mencoba ketiga kalinya. Yang ini, nada
panggilnya baru berbunyi sebentar tiba-tiba suara Rama akhirnya menjawab dari
seberang sana.
“Apa Cha?” Katanya dengan suara
serak. Dia ternyata benar lagi tidur.
“Ngak. Cuma kangen aja.” Gue, merasa
udah menang menjahili dia, akhirnya malah jadi makin nafsu buat nambah isengin
dia.
Tapi anehnya gak ada respon dari
Rama.
“Rama? Ma? Loe masih hidup, kan?
Halo?” gue mengecek layah HP gue. panggilan masih tersambung padanya.
“Kamu marah sama aku?” Tanya Rama.
“Hah? Ngak! Kenapa?” gue gak ngerti.
“Rachel itu cuma temen aku… iya maaf
kalau udah nyuruh kamu pulang sendiri, harusnya emang aku nganterin kamu pulang
dulu.”
“Lah! Kok jadi ngomongin Rachel?”
“Maaf, ya, sayang…”
Sayang? Sayang…? Merinding gue
denger kata lembut itu keluar dari mulut dia. Sakit jiwa ini anak!
“Kita, kan cuma temen. Jangan
panggil gue sayang!” Gue memperjelas status kita. Kitakan udah putus dari
semenjak di Mall tadi. (Yang sepihak itu.)
“Kamu jangan tidur dulu! Aku kesana
sekarang.”
Gue kaget. Ngapain? Gila! Ini anak
ngapain ke sini malem-malem. Dia kira gue marah sama dia… gue cuma mau nanya
tugas C++ aja….
“Rama, Rama, bentar. Gue sebenarnya
cuma mau nanya tugas aja. Loe gak usah ke sini. Oke?”
“Oh… tugas yang mana? C++?”
“Iyalah. Yang mana lagi.”
Akhirnya hampir setengah jam lebih
gue bertelepon-teleponan dengan Rama cuma buat menyelesaikan program gue yang
error itu. Dari situ gue dapet pelajaran lain tentang Rama, jangan sembarangan
ngomong sama dia, bisa-bisa itu anak nekad kayak tadi. Bahaya… bahaya.
Jam dua malem, akhirnya gue baru
bisa membaringkan tubuh gue ini. Bantal nyaman udah di bawah kepala, lampu
sudah di matikan, baca do’a selesai, tinggal memejamkan mata. Dan malam ini
untuk yang kesekian kalinya gue membayangkan wajah Rama dan segala sikapnya
kepada gue sepanjang hari ini. Gue tersenyum sendiri karena kegilaannya.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar