Sabtu, 29 Maret 2014

Teman Makan Cinta (Part7)



07
 





            2 tahun masa SMA dan 4 semester masa kuliah gue lalu dengan siapa lagi kalau bukan sama bocah gila yang sama sekali gak gue ngerti bagaimana dia mempergunakan otaknya saat berfikir itu. Kemaren, di kantin ini lah dia memutuskan tali persahabatan di antara kita. Meja kayu panjang yang ada di depan gue ini lah yang menjadi saksi bisu bagaimana Rama mengakhirinya.
            Gue gak tau mana yang lebih sakit, antara putus sama pacar atau putus sama sahabat gue sendiri. Gue juga gak tau apa rasa sakit yang gue rasain ini bisa dibilang karena gue takut gak punya temen lagi, atau karena gue takut untuk sendirian… atau karena emang gue bener-bener gak bisa kehilangan Rama?
            Gue cuma bisa menyantap nasi uduk bala-bala dengan sedikit sambal ini sendirian dengan hati yang ancur (bukan berkeping-keping lagi, tapi udah jadi serpihan-serpihan.) Walaupun nasi uduk ini adalah nasi uduk paling enak di seantero kampus, tapi hari ini rasanya semua yang masuk ke dalam mulut gue menjadi hambar. Mungkin enzim amilum yang ada di mulut gue sudah tidak berfungsi lagi seperti biasanya. Gue bahkan hanya mengunyah suapan pertama gue dan sisanya hanya gue aduk-aduk di dalam piring. Untuk pertama kalinya dalam hidup, nafsu makan gue hilang. Efek Rama di dalam kehidupan gue benar-benar dahsyat.
             Setelah gue pikir cukup ngaduk-ngaduk makanan dan nasi dalam mulut gue juga rasanya udah aneh, setelah gue buang –walaupu Allah ngelarang untuk buang-buang makanan– akhirnya gue memutuskan untuk keluar dari kantin yang penuh sesak itu dan melanjutkan tugas gue sebagai mahasiswi, yaitu berkuliah. Kebetulan mata kuliah hari ini cuma Struktur Data lanjutan doang (Yang gak ngerti itu mata kuliah apaan, anda adalah orang beruntung! Pikirkan lah masalah anda sendiri. Terima kasih.).  Jadi gue bisa bengong dan merenung selama 3 SKS kedepan.
            Dengan lunglai gue berjalan dari kantin yang letaknya berada di samping wilayah  gedung Fakultas Komputer. Gak terlalu jauh dari gedung di mana gue biasa mendapat ilmu perkomputeran. Gue berjalan di antara bayang-bayang mahasiswa lain yang berlalu-lalang, beramai-ramai sambil mengobrol ringan dan tertawa-tawa dengan gembira. Gue memperhatikan mereka lewat dari sudut mata gue, menatap iri kepada semua yang bisa gembira dikala ada orang lain yang sedang sedih. Parah! Gue bahkan jadi rentan sirik sama orang.
            Sampai di kelas, gue langsung memilih tempat duduk secara acak di mana pun kaki gue membawa. Kelas hari ini cukup ramai. Tapi, lagi-lagi tidak dengan gue yang  hanya bisa merasakan kesepian. Gue memutuskan untuk duduk di pojok kelas. Tempat yang gue pikir cocok untuk menjauh dari sorot mata keramaian.
            Baris kedelapan, kursi ke empat. Itulah tempat yang gue pilih saat ini. Sambil merebahkan kepala ke dinding, gue membuka-buka buku paket Struktur Data tebal di tangan gue. Berpura-pura sibuk membaca padahal gue cuma berusaha biar gak ketahuan kalau lagi bengong.
            Tapi tiba-tiba dari sudut kanan mata, gue mendapati seorang cowok yang mulai duduk tepat di sebelah bangku gue yang kebetulan masih kosong. Tapi seakan, sosok seseorang yang baru saja duduk itu tidak begitu asing buat gue. Setelah sedikit menurunkan buku yang menghalangi pemandangan, gue mendapati ternyata Rama adalah orang yang duduk tersebut. Gue menatapnya kaget, begitu juga Rama saat menyadari bahwa ternyata yang ada di sebelahnya itu gue. Gue gak tau berapa lama kita saling berpandangan tapi yang jelas gue sempet mendapati sorot mata Rama seakan lirih tapi berusaha tegar. Gue gak ngerti, tapi yang jelas pancaran mata itu yang gue dapat saat dia menatap gue dalam kediamannya. Tapi seketika itu juga Rama langsung bergeming dan memilih untuk mencari bangku lain yang masih kosong. Gue kembali dengan buku Struktur Data gue. Bagus! Mood gue untuk belajar, hari ini udah ilang seilang-ilangnya.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Hari-hari berikutnya hal yang gue lakukan selalu sama. Tapi kali ini gue lebih memutuskan untuk menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswi seutuhnya. Gue mulai merasa bahwa apa yang dulu gue pengen, yaitu menjalani kehidupan gue dengan normal dan tanpa adanya Rama yang gila di deket gue, akhirnya terwujud juga. Gue bisa mencari teman baru –yang lebih normal, dan menikmati masa kuliah ini sampai gue lulus seperti orang lain.
            Akhirnya gue mencari kesibukan lain dengan melanjutkan cita-cita gue yang tertunda yaitu menjadi seorang penulis. Gue yang waktu SMP jatuh cinta berat sama Harry Potter, mendorong impian anak kecil yang udah mau gede berumur 13 tahun seperti gue untuk mencoba menulis cerpen untuk pertama kalinya. Gue inget banget cerpen pertama gue itu terilhami dari kisah cinta monyet gue bersama temen sekelas gue sendiri. My first love story. Setelah cerpen yang sudah menghabiskan satu buku tulis gue itu selesai, ternyata temen-temen gue pada antusias pengen baca cerita gue. Katanya cerita yang gue bikin itu sangat menarik. Akhirnya dengan semangat menggebu-gebu, terakhir gue ingat, cerpen pertama gue itu laris terbaca sampai jilid ke-3. Setelah gue lulus SMP dan masuk SMA, gue udah jarang nulis cerpen lagi. Tapi gue sempet ikut beberapa perlombaan cerpen dari internet. Gak pernah menang, sih tapi dengan hanya ikut itu aja gue udah seneng banget waktu itu.
            Semenjak kuliah ini lah gue bener-bener vacum dari dunia menulis. udah lama juga gue gak mengasah kemampuan gue dalam merangkai kata dan bercerita. Kebetulan gue lagi galau, dan kata orang, kalau lagi galau biasanya lebih gampang mencurahkan isi hati dan perasaan, serta bisa menemukan kata-kata indah dari kegalauannya tersebut. Akhirnya gue akan kembali untuk mencoba melanjutkan impian yang sempat tertunda itu.
Gue sedang duduk di atas kasur dengan laptop di paha yang terlapis bantal. Jemari ini langsung menari-nari di atas keybord memilih hufur-huruf dan merangkainya mejadi kata, kalimat dan tak terasa sudah menjadi sebuah paragraf. Paragraf itu menjadi semakin banyak seiring dengan jemari gue yang semakin lincah menekan tut keyboard. Ternyata benar, gue bisa dengan mudah menulis apa yang sedang gue pikirkan, gue menyusun semua perasaan gue, mengumpulkannya di dalam otak gue dan menuangkannya melewati jemari menjadi sebuah kisah ber-plot yang memiliki konflik, tokoh, latar….
            Gue menyelesaikan cerpen pertama gue, setelah hampir 2 tahun gue gak pernah nulis lagi, akhirnya dalam 3 jam berkutat di depan laptop, cerpen gue ini selesai juga. Gue tersenyum saat membaca lagi hasil karya, buah tangan gue sendiri. Setiap gue selesai membuat cerpen, gue akan membacanya lagi, membetulkan dan merefisinya sampai gue yakin bahwa tulisan gue udah sempurna. Ternyata gue masih cukup lihai dalam menulis. Masih tidak kalah dengan hasil tulisan yang diterbitkan di majalah-majalah remaja yang sering gue pinjem pas lagi nungguin Rama dandan di rumahnya.
Akhirnya gue memutuskan untuk menjadikan menulis ini menjadi kesibukan baru gue untuk melampiaskan segala perasaan dan kesendirian. Mungkin dengan begini, kesibukan gue akan bertambah dan gue dapat merintis masa depan yang lebih indah dari yang dulu pernah dibayangkan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Sudah hampir seminggu gue gak pernah nongkrong-nongkrong di kampus setelah mata kuliah hari itu selesai. Setiap selesai kuliah gue akan langsung pulang ke kostan untuk melanjutkan cerpen-cerpen gue. Gue bahkan ikut UKM jurnalistik di kampus, yang setiap minggunya sibuk mencetak majalah. Gue biasanya menyumbangkan tulisan berupa cerpen untuk di masukan ke bagian Fiksi dalam majalah tersebut.
Awal gue mengajukan cerpen gue, mereka sudah tertarik dengan cerita yang gue bikin dan meminta gue untuk masuk ke tim cerpennya mereka. Gue gak bisa nolak karena ini adalah panggilan hati. Setiap hari kalau gak rapat sama anak-anak Jurnalis, gue akan mengurung diri di kamar kost untuk membuat cerita.
Dari masuknya gue menjadi tim Jurnal ini lah gue mulai mengerti sedikit-banyak tentang bagaimana cara menulis yang baik dan benar sesuai EYD yang digunakan. Selama ini kalau gue nulis cerpen, yang gue pikirin : ini cerita bakal bagus gak, yah kalau di buat kayak gini, atau ini cerita bakal ada yang baca gak, yah kalau jadinya gini?
Dengan masuk ke tim ini gue mengerti arti pentingnya titik di akhir kalimat dan koma untuk jeda. Biasanya? Kalau gue, sih nulis cuma seenak jidat gue aja… tapi dengan begitu gue lebih fokus ke cerita daripada banyak teori yang bikin gue mabok! Yang gue pikirin ini cocoknya titik atau koma, ini harus tanda seru atau titik. Lah! Apa gak galau kalau gue mikirin itu mulu.
Tapi sekali lagi, dengan masuknya gue ke tim ini, sekali lagi, banyak banget pelajaran yang dapet gue ambil untuk mengasah kemampuan menulis gue. Dan gue sangat bersyukur dengan Rama “Ninggalin” gue, gue bisa mendapat hikmah dari kejadian ini.
            Tak terasa hampir dua minggu gue menjalani rutinitas baru ini. Gue bahkan sudah mulai terbiasa dengan apa yang menjadi kesibukan gue sekarang. Bahkan target-target baru, muncul seiring dengan tercapainya target-target gue sebelumnya. Cerpen gue sudah banyak diterbitkan di majalah kampus dan banyak respon positif yang gue dapet dari para mahasiswa yang sering membaca cerita gue. Akhirnya gue mulai memutuskan untuk memberanikan diri mengirim cerpen karya gue, yang menurut gue paling bagus, ke perusahaan majalah nasional untuk memulai debut pertama gue sebagai cerpenis profesional. Tapi, baru aja gue menyampaikan impian gue itu kepada sang ketua Redaksi kampus, tiba-tiba gue malah mendapat kritik tajam dari mulut cowok ber-image pintar dengan kaca mata lensa tebalnya itu.
            “Gue ngerasa akhir-akhir ini tulisan loe rada menurun kualitasnya. Dalam segi cerita emang masih menarik, tapi gue sebagai pembaca udah gak merasakan ruh, jiwa yang tersisip dalam setiap susunan kata yang loe buat. Gue ngerasa loe lebih banyak mikir aja, jadinya berasa cerita loe rada kaku… yah, loe ngerti lah maksud gue,”
            “Iya gitu Kak?” Gue gak percaya.
            “Awal loe bawa cerpen ke sini, gue langsung minta loe buat jadi bagian dari majalah kampus ini karena loe punya kelebihan dalam mencurahkan semua perasaan yang loe punya ke dalam kertas. Itu jarang dimiliki oleh penulis lainnya. Gue ngerasa, kalau ibarat nyanyi, loe enteng ngebawainnya… tapi sekarang gue udah gak ngerasainnya lagi. Sayang banget padahal.”  
            Gue gak bisa ngebantah apa yang ketua itu ucapkan karena semuanya benar. Gue juga merasakannya saat sedang menulis cerpen, hati gue gak bergerak. Hanya otak yang gue paksa untuk terus berfikir sehingga jiwa di dalam tulisan yang gue bikin itu kosong dan hampa. Kalau ibarat manusia, tulisan gue itu adalah zombie. Datar tak berjiwa, mayat hidup.
            Egi, si ketua redaksi majalah kampus gue itu akhirnya menyarankan gue untuk menunda dulu impian gue mengirimkan cerpen ke penerbit majalah dan sebaiknya memperbaiki tulisan gue agar bisa kembali seperti dulu lagi.
            Setelah keluar dari sekre Jurnal, gue dengan lemas menuju gerbang kampus untuk segera pulang ke kostan. Sepanjang jalan gue berfikir, selama ini setiap gue menulis cerpen apapun judulnya, apapun genre-nya, yang gue bayangkan sebagai tokoh pendamping dari tokoh utama gue adalah sosok Rama, ‘mantan’ temen gue dulu. Tapi akhir-akhir ini gue mulai merubah konsep Rama menjadi seseorang yang 180 derajat berbeda jauh darinya. Karena itu, logika seakan terlibat lebih banyak dalam penulisan gue dibanding perasaan. Padahal Kak Egi selalu memberitahukan kepada tim cerpen kalau menulis cerpen itu pada hakikatnya adalah menuang apa yang ada di hati kita, biarkan itu mengalir dengan sendirinya sehingga tulisan yang kita buat akan menjadi hidup dan nyampe ke pembaca. Cinta adalah tentang perasaan, sedih adalah tentang perasaan, tidak mungkin itu bisa di mengerti oleh otak kita. Saat sedih, hati lah yang sakit, bukan kepala. Saat galau pun hati lah yang merasakannya bukan kepala kita. Menulis cerpen harus dengan hati. Dengan hati! Dengan hati!
            Gue mengulang kata-kata terakhir Kak Egi barusan dan menanamnya kuat kedalam ingatan gue. Tapi masalahnya saat ini adalah: Gue ngerasa hati gue lagi gak bergerak. Gue ngerasa hati gue biasa-biasa saja. Gue gak gembira, gue gak sedih, gue juga gak lagi galau. Kalau gue nungguin salah satu dari perasaan itu datang, mungkin seumur hidup gue gak akan bisa lagi menulis cerpen yang punya ‘ruh’ atau jiwa di dalamnya kayak yang Kak Egi harapkan.
            Masa pengejaran mimpi gue untuk menjadi penulis terkenal yang jago IT hanya sampai sebatas ini? Gak professional banget gue dalam menulis….
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Pertama kalinya dalam beberapa minggu ini gue merindukan Rama. Gue yang lagi sibuk mengetik di depan laptop memutuskan untuk menghentikan pekerjaan gue. gue merebahakan kepala ke tembok dan menatap lurus ke dinding kostan. Di sana terpajang poster ke 13 cowok keren Korea kesayangan gue. Tapi bukan mereka yang lagi gue perhatikan. Tatapan gue kosong ke arah mereka. Pikiran gue lagi terbang memikirkan Rama.
            Melewati poster besar itu, bayang-bayang pikiran gue menembus semakin jauh tembok bata kamar kost dan pergi terbawa angin berhembus jauh menyusuri gang-gang sempit, jalan-jalan, lampu merah, satpam penjaga komplek, dan akhirnya sampai di rumah Rama.
Huruf demi huruf muncul di kepala gue, berjajar tersusun menjadi sebuah kata yang bermakna, tapi pada akhirnya selalu selesai dengan tanpa adanya jawaban. Rama, Kenapa harus begini? Kenapa harus dia? Kenapa? Kenapa?
Oh, Rama… apa yang sedang kau lakukan… apa yang sedang kau pikirkan… apa yang sedang kau rasakan… Gue benar-benar kangen. Gak ada teman sebaik loe. Oke! Segila loe. Setidaknya Rama lah yang selalu bikin gue tertawa dengan tingkah lakunya yang di luar nalar manusia pada umumnya.
            Gue mulai membayangkan saat di mana gue dan Rama yang baru masuk kuliah dan kita berdua di ospek dengan kejam bersama. Gue nangis dibentak-bentak senior karena terlambat datang, Rama menghibur gue dengan membelikan hamster lucu saat pulang ospek. Gak nyambung memang. Udah gue bilang sebelumnya, cara berfikir dia dahsyat! Walaupun Hamsternya kabur hentah kemana, mungkin karena dia gak betah tinggal sama gue atau emang gue aja yang rada kejam karena jarang ngasih dia makan, akhirnya dia menghilang gitu aja di pagi hari saat gue bangun tidur.
            Saat pertama gue kost dan jauh dari orang tua, di malam pertama gue sendirian di tempat yang baru gue datangi, Rama lah orang pertama yang gue telepon saat gue ngerasa takut atau butuh bantuan. Rama bahkan mau nemenin gue ngobrol sampai gue tidur. Walapun dalam kasus yang sebenarnya Rama bentak-bentak gue lebih dulu karena sering bangunin dia pas dia udah tidur, mau gak mau dia jadi gak bisa tidur lagi dan akhirnya ngeladenin gue ngomong sampai gue sendiri ngantuk.
            Rama yang selalu ada saat gue butuhkan, terutama kalau gue lagi gak punya duit. Walaupun sebenarnya gue yang nguber-nguber dia untuk pinjem uang, tapi dengan perhitungannya yang cerdas dalam menghitung bunga dari tiap uang yang dipinjamkanya, akhirnya gue bisa bertahan di kostan gue sampai saat ini adalah karena jasa dia juga. (Ditambah keahlian dia sebagai rentenir.)
            Rama, walaupun kata-katanya suka kasar sama gue, tapi sebenarnya dia baik banget. Gaya dia memang seperti itu. Cara mengekspresikan perhatiannya ke gue adalah dengan mengejek gue, menyindir gue dengan kata-kata songong-nya, dan tingkah lakunya yang suka noyor-noyor kepala gue… walapun kelihatannya sebagai penindasan terhadap wanita, dan emang kenyataannya seperti itu, tapi karena gue adalah orang tersuci sedunia, jadi gue masih menganggap dia sebagai orang yang sangat baik buat gue. Gue Huznuzan aja sama si Rama.
            Rama, sebenarnya gue ngerasa kesepian karena gak ada loe. Loe lah satu-satunya sahabat gue yang ngerti bagaimana gue, yang selalu ada saat gue membutuhkan loe. Rama, kenapa rasanya hati gue sakit banget menyadari kalau loe lebih milih Rachel dari pada gue…. Gue tau kalau gue lah yang nyuruh loe buat jadian sama orang yang bener-bener loe suka, tapi gue sama sekali gak tau akhirnya akan seperti ini. Gue gak tau akhirnya, dengan begini hubungan kita selesai. Gue gak tau loe akan sejauh ini dari gue. Hati gue sakit Rama… gue mau nangis… gue mau ketemu loe sekarang, plis dateng ke sini sekarang juga dan bilang kalau loe juga kangen sama gue dan pengen kita kayak dulu lagi… gue gak bisa kalau gak sama loe. Gue kesepian kalau gak ada loe. Tinggalin Rachel dan jadi sahabat gue lagi, plis….
            Gak kerasa gue ketiduran sambil nangis….
(-_-“)(-_-“)(-_-“)

            Jam empat shubuh, mata ini terasa begitu berat. Bantal yang menahan kepala gue terasa basah, lembab. Sepanjang malam gue cuma bisa menangis. Gue menangis merenungkan betapa bodohnya gue yang dengan mudahnya bisa memanipulasi semua perasaan gue menjadi baik-baik saja, padahal gue gak baik-baik saja. Mata gue yang bengkak ini adalah bukti bahwa selama ini gue cuma bisa menahan kesendirian dan rasa sepi ini dengan mencari kesibukan untuk meraih target-target hidup gue di masa depan tanpa menikmati masa hidup yang sedang gue jalani saat ini. Gue ngerasa gue lah orang paling bodoh di dunia ini.
            Gue memutuskan untuk ke kamar mandi, mengambil air wudhu untuk membersihkan diri dan kepala gue dengan air yang masih dingin membuat bulu roma ini berdiri setiap tersentuh olehnya.
            Gue membersihkan telapak tangan sebanyak tiga kali, lalu berkumur, membersihkan hidung, wajah, tangan, kepala, telinga dan kaki. Lalu gue pergi mengambil sejadah dan mukena, mengenakannya dan mulai untuk shalat tahajud. Dalam keadaan hati yang resah dan galau seperti ini, mendekatkan diri kepada Allah adalah pilihan yang tepat. Hati gue akan lebih tenang dan pikiran gue akan lebih jernih. Dengan shalat Tahajud ada kenikmatan dan ketentraman indah yang gak bisa gue ungkapkan dengan kata-kata saat setiap rakaat gue bersujud, setiap rakaat gue ruku’….
            Gue selesai shalat. Hati gue udah cukup tenang. Merebahkan tubuh ini di atas sejadah dengan masih memakai mukena, gue perlahan mulai kembali terlelap dalam balutan mimpi yang menenangkan.
                        (-_-“)(-_-“)(-_-“)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar