07
|
2 tahun masa SMA dan 4 semester masa
kuliah gue lalu dengan siapa lagi kalau bukan sama bocah gila yang sama sekali
gak gue ngerti bagaimana dia mempergunakan otaknya saat berfikir itu. Kemaren,
di kantin ini lah dia memutuskan tali persahabatan di antara kita. Meja kayu
panjang yang ada di depan gue ini lah yang menjadi saksi bisu bagaimana Rama
mengakhirinya.
Gue gak tau mana yang lebih sakit,
antara putus sama pacar atau putus sama sahabat gue sendiri. Gue juga gak tau
apa rasa sakit yang gue rasain ini bisa dibilang karena gue takut gak punya
temen lagi, atau karena gue takut untuk sendirian… atau karena emang gue bener-bener
gak bisa kehilangan Rama?
Gue cuma bisa menyantap nasi uduk
bala-bala dengan sedikit sambal ini sendirian dengan hati yang ancur (bukan berkeping-keping
lagi, tapi udah jadi serpihan-serpihan.) Walaupun nasi uduk ini adalah nasi
uduk paling enak di seantero kampus, tapi hari ini rasanya semua yang masuk ke
dalam mulut gue menjadi hambar. Mungkin enzim amilum yang ada di mulut gue sudah tidak berfungsi lagi seperti
biasanya. Gue bahkan hanya mengunyah suapan pertama gue dan sisanya hanya gue
aduk-aduk di dalam piring. Untuk pertama kalinya dalam hidup, nafsu makan gue
hilang. Efek Rama di dalam kehidupan gue benar-benar dahsyat.
Setelah gue pikir cukup ngaduk-ngaduk makanan
dan nasi dalam mulut gue juga rasanya udah aneh, setelah gue buang –walaupu
Allah ngelarang untuk buang-buang makanan– akhirnya gue memutuskan untuk keluar
dari kantin yang penuh sesak itu dan melanjutkan tugas gue sebagai mahasiswi,
yaitu berkuliah. Kebetulan mata kuliah hari ini cuma Struktur Data lanjutan doang (Yang gak ngerti itu mata kuliah
apaan, anda adalah orang beruntung! Pikirkan lah masalah anda sendiri. Terima
kasih.). Jadi gue bisa bengong dan
merenung selama 3 SKS kedepan.
Dengan lunglai gue berjalan dari
kantin yang letaknya berada di samping wilayah
gedung Fakultas Komputer. Gak terlalu jauh dari gedung di mana gue biasa
mendapat ilmu perkomputeran. Gue berjalan di antara bayang-bayang mahasiswa
lain yang berlalu-lalang, beramai-ramai sambil mengobrol ringan dan
tertawa-tawa dengan gembira. Gue memperhatikan mereka lewat dari sudut mata
gue, menatap iri kepada semua yang bisa gembira dikala ada orang lain yang
sedang sedih. Parah! Gue bahkan jadi rentan sirik sama orang.
Sampai di kelas, gue langsung memilih
tempat duduk secara acak di mana pun kaki gue membawa. Kelas hari ini cukup
ramai. Tapi, lagi-lagi tidak dengan gue yang
hanya bisa merasakan kesepian. Gue memutuskan untuk duduk di pojok
kelas. Tempat yang gue pikir cocok untuk menjauh dari sorot mata keramaian.
Baris kedelapan, kursi ke empat.
Itulah tempat yang gue pilih saat ini. Sambil merebahkan kepala ke dinding, gue
membuka-buka buku paket Struktur Data tebal di tangan gue. Berpura-pura sibuk
membaca padahal gue cuma berusaha biar gak ketahuan kalau lagi bengong.
Tapi tiba-tiba dari sudut kanan
mata, gue mendapati seorang cowok yang mulai duduk tepat di sebelah bangku gue
yang kebetulan masih kosong. Tapi seakan, sosok seseorang yang baru saja duduk
itu tidak begitu asing buat gue. Setelah sedikit menurunkan buku yang
menghalangi pemandangan, gue mendapati ternyata Rama adalah orang yang duduk
tersebut. Gue menatapnya kaget, begitu juga Rama saat menyadari bahwa ternyata
yang ada di sebelahnya itu gue. Gue gak tau berapa lama kita saling
berpandangan tapi yang jelas gue sempet mendapati sorot mata Rama seakan lirih
tapi berusaha tegar. Gue gak ngerti, tapi yang jelas pancaran mata itu yang gue
dapat saat dia menatap gue dalam kediamannya. Tapi seketika itu juga Rama
langsung bergeming dan memilih untuk mencari bangku lain yang masih kosong. Gue
kembali dengan buku Struktur Data gue. Bagus! Mood gue untuk belajar, hari ini udah ilang seilang-ilangnya.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Hari-hari berikutnya hal yang gue
lakukan selalu sama. Tapi kali ini gue lebih memutuskan untuk menjalani
kehidupan baru sebagai mahasiswi seutuhnya. Gue mulai merasa bahwa apa yang
dulu gue pengen, yaitu menjalani kehidupan gue dengan normal dan tanpa adanya
Rama yang gila di deket gue, akhirnya terwujud juga. Gue bisa mencari teman
baru –yang lebih normal, dan menikmati masa kuliah ini sampai gue lulus seperti
orang lain.
Akhirnya gue mencari kesibukan lain
dengan melanjutkan cita-cita gue yang tertunda yaitu menjadi seorang penulis.
Gue yang waktu SMP jatuh cinta berat sama Harry Potter, mendorong impian anak
kecil yang udah mau gede berumur 13 tahun seperti gue untuk mencoba menulis
cerpen untuk pertama kalinya. Gue inget banget cerpen pertama gue itu terilhami
dari kisah cinta monyet gue bersama temen sekelas gue sendiri. My first love
story. Setelah cerpen yang sudah menghabiskan satu buku tulis gue itu selesai,
ternyata temen-temen gue pada antusias pengen baca cerita gue. Katanya cerita
yang gue bikin itu sangat menarik. Akhirnya dengan semangat menggebu-gebu,
terakhir gue ingat, cerpen pertama gue itu laris terbaca sampai jilid ke-3.
Setelah gue lulus SMP dan masuk SMA, gue udah jarang nulis cerpen lagi. Tapi
gue sempet ikut beberapa perlombaan cerpen dari internet. Gak pernah menang,
sih tapi dengan hanya ikut itu aja gue udah seneng banget waktu itu.
Semenjak kuliah ini lah gue
bener-bener vacum dari dunia menulis.
udah lama juga gue gak mengasah kemampuan gue dalam merangkai kata dan
bercerita. Kebetulan gue lagi galau, dan kata orang, kalau lagi galau biasanya
lebih gampang mencurahkan isi hati dan perasaan, serta bisa menemukan kata-kata
indah dari kegalauannya tersebut. Akhirnya gue akan kembali untuk mencoba melanjutkan
impian yang sempat tertunda itu.
Gue sedang duduk di atas kasur dengan laptop di paha yang terlapis
bantal. Jemari ini langsung menari-nari di atas keybord memilih hufur-huruf dan
merangkainya mejadi kata, kalimat dan tak terasa sudah menjadi sebuah paragraf.
Paragraf itu menjadi semakin banyak seiring dengan jemari gue yang semakin
lincah menekan tut keyboard. Ternyata
benar, gue bisa dengan mudah menulis apa yang sedang gue pikirkan, gue menyusun
semua perasaan gue, mengumpulkannya di dalam otak gue dan menuangkannya
melewati jemari menjadi sebuah kisah ber-plot yang memiliki konflik, tokoh,
latar….
Gue menyelesaikan cerpen pertama
gue, setelah hampir 2 tahun gue gak pernah nulis lagi, akhirnya dalam 3 jam
berkutat di depan laptop, cerpen gue ini selesai juga. Gue tersenyum saat
membaca lagi hasil karya, buah tangan gue sendiri. Setiap gue selesai membuat
cerpen, gue akan membacanya lagi, membetulkan dan merefisinya sampai gue yakin
bahwa tulisan gue udah sempurna. Ternyata gue masih cukup lihai dalam menulis. Masih
tidak kalah dengan hasil tulisan yang diterbitkan di majalah-majalah remaja
yang sering gue pinjem pas lagi nungguin Rama dandan di rumahnya.
Akhirnya gue memutuskan untuk menjadikan menulis ini menjadi kesibukan
baru gue untuk melampiaskan segala perasaan dan kesendirian. Mungkin dengan
begini, kesibukan gue akan bertambah dan gue dapat merintis masa depan yang
lebih indah dari yang dulu pernah dibayangkan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Sudah hampir seminggu gue gak pernah
nongkrong-nongkrong di kampus setelah mata kuliah hari itu selesai. Setiap
selesai kuliah gue akan langsung pulang ke kostan untuk melanjutkan
cerpen-cerpen gue. Gue bahkan ikut UKM jurnalistik di kampus, yang setiap
minggunya sibuk mencetak majalah. Gue biasanya menyumbangkan tulisan berupa
cerpen untuk di masukan ke bagian Fiksi dalam majalah tersebut.
Awal gue mengajukan cerpen gue, mereka sudah tertarik dengan cerita yang
gue bikin dan meminta gue untuk masuk ke tim cerpennya mereka. Gue gak bisa
nolak karena ini adalah panggilan hati. Setiap hari kalau gak rapat sama
anak-anak Jurnalis, gue akan mengurung diri di kamar kost untuk membuat cerita.
Dari masuknya gue menjadi tim Jurnal ini lah gue mulai mengerti
sedikit-banyak tentang bagaimana cara menulis yang baik dan benar sesuai EYD yang
digunakan. Selama ini kalau gue nulis cerpen, yang gue pikirin : ini cerita bakal bagus gak, yah kalau di
buat kayak gini, atau ini cerita bakal ada yang baca gak, yah kalau jadinya
gini?
Dengan masuk ke tim ini gue mengerti arti pentingnya titik di akhir
kalimat dan koma untuk jeda. Biasanya? Kalau gue, sih nulis cuma seenak jidat
gue aja… tapi dengan begitu gue lebih fokus ke cerita daripada banyak teori
yang bikin gue mabok! Yang gue pikirin ini cocoknya titik atau koma, ini harus
tanda seru atau titik. Lah! Apa gak galau kalau gue mikirin itu mulu.
Tapi sekali lagi, dengan masuknya gue ke tim ini, sekali lagi, banyak
banget pelajaran yang dapet gue ambil untuk mengasah kemampuan menulis gue. Dan
gue sangat bersyukur dengan Rama “Ninggalin” gue, gue bisa mendapat hikmah dari
kejadian ini.
Tak terasa hampir dua minggu gue
menjalani rutinitas baru ini. Gue bahkan sudah mulai terbiasa dengan apa yang
menjadi kesibukan gue sekarang. Bahkan target-target baru, muncul seiring
dengan tercapainya target-target gue sebelumnya. Cerpen gue sudah banyak
diterbitkan di majalah kampus dan banyak respon positif yang gue dapet dari
para mahasiswa yang sering membaca cerita gue. Akhirnya gue mulai memutuskan
untuk memberanikan diri mengirim cerpen karya gue, yang menurut gue paling
bagus, ke perusahaan majalah nasional untuk memulai debut pertama gue sebagai
cerpenis profesional. Tapi, baru aja gue menyampaikan impian gue itu kepada
sang ketua Redaksi kampus, tiba-tiba gue malah mendapat kritik tajam dari mulut
cowok ber-image pintar dengan kaca
mata lensa tebalnya itu.
“Gue ngerasa akhir-akhir ini tulisan
loe rada menurun kualitasnya. Dalam segi cerita emang masih menarik, tapi gue
sebagai pembaca udah gak merasakan ruh, jiwa
yang tersisip dalam setiap susunan kata yang loe buat. Gue ngerasa loe lebih
banyak mikir aja, jadinya berasa cerita loe rada kaku… yah, loe ngerti lah
maksud gue,”
“Iya gitu Kak?” Gue gak percaya.
“Awal loe bawa cerpen ke sini, gue
langsung minta loe buat jadi bagian dari majalah kampus ini karena loe punya
kelebihan dalam mencurahkan semua perasaan yang loe punya ke dalam kertas. Itu
jarang dimiliki oleh penulis lainnya. Gue ngerasa, kalau ibarat nyanyi, loe
enteng ngebawainnya… tapi sekarang gue udah gak ngerasainnya lagi. Sayang
banget padahal.”
Gue gak bisa ngebantah apa yang
ketua itu ucapkan karena semuanya benar. Gue juga merasakannya saat sedang
menulis cerpen, hati gue gak bergerak. Hanya otak yang gue paksa untuk terus
berfikir sehingga jiwa di dalam tulisan yang gue bikin itu kosong dan hampa.
Kalau ibarat manusia, tulisan gue itu adalah zombie. Datar tak berjiwa, mayat
hidup.
Egi, si ketua redaksi majalah kampus
gue itu akhirnya menyarankan gue untuk menunda dulu impian gue mengirimkan
cerpen ke penerbit majalah dan sebaiknya memperbaiki tulisan gue agar bisa kembali
seperti dulu lagi.
Setelah keluar dari sekre Jurnal, gue dengan lemas menuju
gerbang kampus untuk segera pulang ke kostan. Sepanjang jalan gue berfikir,
selama ini setiap gue menulis cerpen apapun judulnya, apapun genre-nya, yang gue bayangkan sebagai
tokoh pendamping dari tokoh utama gue adalah sosok Rama, ‘mantan’ temen gue dulu. Tapi akhir-akhir ini gue mulai merubah
konsep Rama menjadi seseorang yang 180 derajat berbeda jauh darinya. Karena itu,
logika seakan terlibat lebih banyak dalam penulisan gue dibanding perasaan.
Padahal Kak Egi selalu memberitahukan kepada tim cerpen kalau menulis cerpen
itu pada hakikatnya adalah menuang apa yang ada di hati kita, biarkan itu
mengalir dengan sendirinya sehingga tulisan yang kita buat akan menjadi hidup
dan nyampe ke pembaca. Cinta adalah tentang perasaan, sedih adalah tentang
perasaan, tidak mungkin itu bisa di mengerti oleh otak kita. Saat sedih, hati
lah yang sakit, bukan kepala. Saat galau pun hati lah yang merasakannya bukan
kepala kita. Menulis cerpen harus dengan hati. Dengan hati! Dengan hati!
Gue mengulang kata-kata terakhir Kak
Egi barusan dan menanamnya kuat kedalam ingatan gue. Tapi masalahnya saat ini
adalah: Gue ngerasa hati gue lagi gak bergerak. Gue ngerasa hati gue
biasa-biasa saja. Gue gak gembira, gue gak sedih, gue juga gak lagi galau.
Kalau gue nungguin salah satu dari perasaan itu datang, mungkin seumur hidup gue
gak akan bisa lagi menulis cerpen yang punya ‘ruh’ atau jiwa di dalamnya kayak yang Kak Egi harapkan.
Masa pengejaran mimpi gue untuk
menjadi penulis terkenal yang jago IT hanya sampai sebatas ini? Gak
professional banget gue dalam menulis….
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Pertama kalinya dalam beberapa minggu
ini gue merindukan Rama. Gue yang lagi sibuk mengetik di depan laptop
memutuskan untuk menghentikan pekerjaan gue. gue merebahakan kepala ke tembok
dan menatap lurus ke dinding kostan. Di sana terpajang poster ke 13 cowok keren
Korea kesayangan gue. Tapi bukan mereka yang lagi gue perhatikan. Tatapan gue
kosong ke arah mereka. Pikiran gue lagi terbang memikirkan Rama.
Melewati poster besar itu,
bayang-bayang pikiran gue menembus semakin jauh tembok bata kamar kost dan
pergi terbawa angin berhembus jauh menyusuri gang-gang sempit, jalan-jalan,
lampu merah, satpam penjaga komplek, dan akhirnya sampai di rumah Rama.
Huruf demi huruf muncul di kepala gue, berjajar tersusun menjadi sebuah
kata yang bermakna, tapi pada akhirnya selalu selesai dengan tanpa adanya
jawaban. Rama, Kenapa harus begini? Kenapa harus dia? Kenapa? Kenapa?
Oh, Rama… apa yang sedang kau lakukan… apa yang sedang kau pikirkan… apa
yang sedang kau rasakan… Gue benar-benar kangen. Gak ada teman sebaik loe. Oke!
Segila loe. Setidaknya Rama lah yang selalu bikin gue tertawa dengan tingkah
lakunya yang di luar nalar manusia pada umumnya.
Gue mulai membayangkan saat di mana gue
dan Rama yang baru masuk kuliah dan kita berdua di ospek dengan kejam bersama.
Gue nangis dibentak-bentak senior karena terlambat datang, Rama menghibur gue
dengan membelikan hamster lucu saat pulang ospek. Gak nyambung memang. Udah gue
bilang sebelumnya, cara berfikir dia dahsyat! Walaupun Hamsternya kabur hentah
kemana, mungkin karena dia gak betah tinggal sama gue atau emang gue aja yang
rada kejam karena jarang ngasih dia makan, akhirnya dia menghilang gitu aja di
pagi hari saat gue bangun tidur.
Saat pertama gue kost dan jauh dari
orang tua, di malam pertama gue sendirian di tempat yang baru gue datangi, Rama
lah orang pertama yang gue telepon saat gue ngerasa takut atau butuh bantuan.
Rama bahkan mau nemenin gue ngobrol sampai gue tidur. Walapun dalam kasus yang
sebenarnya Rama bentak-bentak gue lebih dulu karena sering bangunin dia pas dia
udah tidur, mau gak mau dia jadi gak bisa tidur lagi dan akhirnya ngeladenin
gue ngomong sampai gue sendiri ngantuk.
Rama yang selalu ada saat gue
butuhkan, terutama kalau gue lagi gak punya duit. Walaupun sebenarnya gue yang
nguber-nguber dia untuk pinjem uang, tapi dengan perhitungannya yang cerdas
dalam menghitung bunga dari tiap uang yang dipinjamkanya, akhirnya gue bisa
bertahan di kostan gue sampai saat ini adalah karena jasa dia juga. (Ditambah
keahlian dia sebagai rentenir.)
Rama, walaupun kata-katanya suka
kasar sama gue, tapi sebenarnya dia baik banget. Gaya dia memang seperti itu.
Cara mengekspresikan perhatiannya ke gue adalah dengan mengejek gue, menyindir
gue dengan kata-kata songong-nya, dan
tingkah lakunya yang suka noyor-noyor
kepala gue… walapun kelihatannya sebagai penindasan terhadap wanita, dan emang
kenyataannya seperti itu, tapi karena gue adalah orang tersuci sedunia, jadi
gue masih menganggap dia sebagai orang yang sangat baik buat gue. Gue Huznuzan aja sama si Rama.
Rama, sebenarnya gue ngerasa
kesepian karena gak ada loe. Loe lah satu-satunya sahabat gue yang ngerti
bagaimana gue, yang selalu ada saat gue membutuhkan loe. Rama, kenapa rasanya
hati gue sakit banget menyadari kalau loe lebih milih Rachel dari pada gue….
Gue tau kalau gue lah yang nyuruh loe buat jadian sama orang yang bener-bener
loe suka, tapi gue sama sekali gak tau akhirnya akan seperti ini. Gue gak tau
akhirnya, dengan begini hubungan kita selesai. Gue gak tau loe akan sejauh ini
dari gue. Hati gue sakit Rama… gue mau nangis… gue mau ketemu loe sekarang,
plis dateng ke sini sekarang juga dan bilang kalau loe juga kangen sama gue dan
pengen kita kayak dulu lagi… gue gak bisa kalau gak sama loe. Gue kesepian
kalau gak ada loe. Tinggalin Rachel dan jadi sahabat gue lagi, plis….
Gak kerasa gue ketiduran sambil
nangis….
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Jam empat shubuh, mata ini terasa
begitu berat. Bantal yang menahan kepala gue terasa basah, lembab. Sepanjang
malam gue cuma bisa menangis. Gue menangis merenungkan betapa bodohnya gue yang
dengan mudahnya bisa memanipulasi semua perasaan gue menjadi baik-baik saja,
padahal gue gak baik-baik saja. Mata gue yang bengkak ini adalah bukti bahwa
selama ini gue cuma bisa menahan kesendirian dan rasa sepi ini dengan mencari
kesibukan untuk meraih target-target hidup gue di masa depan tanpa menikmati
masa hidup yang sedang gue jalani saat ini. Gue ngerasa gue lah orang paling
bodoh di dunia ini.
Gue memutuskan untuk ke kamar mandi,
mengambil air wudhu untuk membersihkan diri dan kepala gue dengan air yang
masih dingin membuat bulu roma ini berdiri setiap tersentuh olehnya.
Gue membersihkan telapak tangan
sebanyak tiga kali, lalu berkumur, membersihkan hidung, wajah, tangan, kepala,
telinga dan kaki. Lalu gue pergi mengambil sejadah dan mukena, mengenakannya
dan mulai untuk shalat tahajud. Dalam
keadaan hati yang resah dan galau seperti ini, mendekatkan diri kepada Allah
adalah pilihan yang tepat. Hati gue akan lebih tenang dan pikiran gue akan
lebih jernih. Dengan shalat Tahajud
ada kenikmatan dan ketentraman indah yang gak bisa gue ungkapkan dengan
kata-kata saat setiap rakaat gue bersujud, setiap rakaat gue ruku’….
Gue selesai shalat. Hati gue udah
cukup tenang. Merebahkan tubuh ini di atas sejadah dengan masih memakai mukena,
gue perlahan mulai kembali terlelap dalam balutan mimpi yang menenangkan.
(-_-“)(-_-“)(-_-“)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar